Selamat Datang

Kamis, 31 Oktober 2013

BILINGUALISME DAN DIGLOSIA



 6.1  Bilingualisme
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingulism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kewibahasaan. Dari istilahnya secara hanafiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua kode bahasa. Secara sosiolingustik, secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (mackey 1962:12, fishman 1975 :73). Untuk menggunakan dua bahasa tentunya seorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan) selain istilah bilingulisme dengan segala jabarannya ada juga istilah multi lingualisme (dalam bahasa Indonesia disebit juga keaneka bahasaan) yakni keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secaara bergantian.
Konsep umum bahwa bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulanya dengan orang lain secara bergantia telah menimbulkan sejumlah masalah yang bisa dibahas kalau orang membicarakan bilingualisme. Masalah-masalah itu adalah ( lihat juga Dittmar 1976:170) :
1)    Sejauh mana taraf kemampuan seseorang akan B2 ( B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik ) sehingga dapat disebut sebagai seorang yang bilingual ?
2)    Apa yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme ini ? Apakah bahasa dalam pengertian langue, atau sebuah kode sehingga termasuk sebuah dialek atau sosialek.
3)    Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian ? Kapan dia harus menggunakan B1-nya, dan dapat pula menggunakan B2-nya ? Kapan pula dia dapat secara bebas untuk dapat menggunakan B1-nya atau B2-nya ?
4)    Sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya.
5)    Apakah bilingualisme itu berlaku pada perseorangan ( seperti disebut dalam konsep umum ) atau juga berlaku pada satu kelompok masyarakat tutur ?
Untuk dapat menjawab pertanyaan pertama, sejauh mana penguasaan seorang terhadap B2 ( B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik karena merupakan bahasa ibu ) sehingga bisa disebut sebagai seorang bilingual. Bloomfield dalam bukunya yang terkenal Language ( 1933:56 ) mengatakan bahwa bilingualisme adalah “kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya”. Konsep Bloomfield mengenai bilingualisme ini banyak dipertanyakan dan dipersoalkan orang. Sebab, pertama bagaimana mengukur kemampuan yang sama dari seorang terhadap dua bahasa yang digunakannya; kedua, mungkinkah ada seorang penutur yang dapat menggunakannya B2-nya sama baiknya dengan B1-nya. Oleh karena itu, batasan Bloomfield mengenai bilingualisme ini banyak dimodifikasi orang. Robert Lado ( 1964:214 ), misalnya mengatakan bahwa bilingualisme adalah “kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimana pun tingkatnya”. Menurut Haugen ( 1961 ) “tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual”. Menurut Haugen selanjutnya, “seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa memahaminya saja”.
Dari pembicaraan di atas dapat disimpulkan sebagai jawaban terhadap pertanyaan pertama bahwa pengertian bilingualisme akhirnya satu rentangan berjenjang mulai menguasai B1 ( tentunya dengan baik karena bahasa ibu sendiri ) ditambah sedikit akan B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2-nya yang berjenjang meningkat sampai menguasai B2 itu sama baiknya dengan penguasaan B1. Kalau bilingualisme sudah sampai tahap ini maka berarti seorang penutur yang bilingual itu akan dapat menggunakan B2 dan B1 sama baiknya untuk fungsi dan situasi apa saja dan di mana saja. Namun, seperti sudah disebutkan di atas, penutur bilingualime yang seperti ini jarang ada.

Pertanyaan kedua, yaitu apakah yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme. Apakah bahasa itu sama dengan langue, atau begaimana ? Untuk menjawab pertanyaan kedua itu, terlebih dahulu kita telusuri pendapat para pakar.
Bloomfield ( 1933 ) juga mengatakan bahwa menguasai dua bahasa berarti menguasai dua buah sistem kode. Kalau yang dimaksud oleh Bloomfield bahwa bahasa itu adalah kode, maka berarti bahasa itu bukan langue, melainkan parole, yang berupa berbagai dialek dan ragam. Pakar lain, Mackey ( 1962:12 ), mengatakan dengan tegas bahwa biligualisme adalah praktek penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur. Untuk penggunaan dua bahasa diperlukan penggunaan kedua bahasa itu dengan tingkat yang sama. Jadi, jelas yang dimaksud dengan bahasa oleh Mackey adalah sama dengan langue. Tetapi pakr lain, Weinrich ( 1968:1 ) memberi pengertian bahasa dalam arti luas, yakni tanpa membedakan tingkat-tingkat yang ada di dalamnya.
Dari pembicaraan di atas dapat kita lihat bahwa yang dimaksud dengan bahasa di dalam bilingualisme itu sangat luas, dari bahasa dalam pengertain langue, seperti bahasa Sunda dan bahasa Madura sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa, seperti bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek Surabaya. Kalau yang dimaksud dengan bahasa adalah dialek, maka berarti hampir semua anggota masyarakat Indonesia adalah bilingual.
Pertanyaan ketiga, mempersalahkan kapan seorang penutur bilingual menggunakan kedua bahasa yang dikuasainya secara bergantian; kapan harus menggunakan B1-nya, kapan pula harus menggunakan B2-nya dan kapan pula dia secara bebas dapat memilih untuk menggunakan B1 atau B2-nya. Pertanyaan mengenai kapan seorang penutur bilingual menggunakan satu bahasa tertentu, B1 atau B2-nya, atau satu ragam bahasa tertentu adalah menyangkut masalah fungsi bahasa atau fungsi ragam bahasa tertentu di dalam masyarakat tuturnya sehubungan dengan adanya ranah-ranah penggunaan bahasa atau ragam bahasa teresbut. Kalau di sini mesalahnya kita sempitkan hanya pada penggunaan B1 dan B2, maka kapan kembali ke pertanyaan kapan B1 harus digunakan dan kapan B2 harus dipakai. Pertanyaan ini menyangkut masalah pokok sosiolingistik, “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”.
Dari pembicaraan di atas dapat dilihat bahwa kapan harus digunakan B1 dan kapan harus digunakan B2 tergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosial pembicaraan. Jadi penggunaan B1 dan B2 ini tidaklah bebas. Oleh karena itu, pertanyaan berikutnya dari masalah ketiga, “kapan seorang penutur bilingual dapat secara bebas menggunakan B1 atau B2” adalah agak sukar dijawab. Karena jarang didapat adanya satu masyarakat tutur bilingual yang dapat secara bebas menggunakan salah satu bahasa yang terdapat dalam masyarakat tutur itu.

Masalah keempat yang dipertanyakan di atas adalah menyangkut masalah, sejauh mana B1 seorang penutur bilingual dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya. Pertanyaan ini menyangkut masalah kefasihan menggunakan kedua bahasa itu, dan kesempatan untuk menggunakannya. Dalam keadaan penguasaan terhadap B1 lebih baik daripada B2, dan juga kesempatan untuk menggunakannya lebih luas, maka ada kemungkinan B1 si penutur akan mempengaruhi B2-nya.
Mungkinkah B2 seorang penutur bilingual akan mempengaruhi B2-nya ? Kemungkinan itu aka nada kalau si penutur bilingual itu dalam jangka waktu yang cukup lama tidak menggunakan B1-nya, tetapi terus-menerus menggunakan B2-nya.

Masalah kelima yang dipertanyakan di atas adalah apakah bilingualisme itu terjadi pada perseorangan atau pada sekelompok penutur atau yang lazim disebut satu masyarakat tutur ? Pertanyaan ini menyangkut hakikat bahasa dalam kaitannya dengan penggunaannya di dalam masyarakat tutur bilingual. Oksaar ( 1972:478 ) berpendapat bahwa bilingualisme bukan hanya milik individu, tetapi juga milik kelompok. Mengapa ? Sebab bahasa itu penggunaannya tidak terbatas antara individu dan individu saja, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi antar kelompok.
Hanya masalahnya seperti yang dikatakan Wolf ( 1974:5 ), salah satu ciri bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa atau lebih seorang atau sekelompok orang dengan tidak adanya peranan tertentu dari kedua bahasa itu. Artinya, kedua bahasa itu dapat digunakan kepada siapa saja, kapan saja, dan dalam situasi bagaimana saja.pemilihan bahasa mana yang harus digunakan tergantung pada kemampuan si pembicara dan lawan bicaranya.

6.2  Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh Marcais, seorang linguis Prancis: tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan oleh seorang sarjana dari Stanford University,yaitu C.A.Ferguson tahun 1958 dalam suatu simponsium tentang “Urbanisasi dan bahasa-bahasa satandar” yang diselenggarakan oleh American Anthropological As sociation di Washington DC.
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdapingan dan masing-masing mempunyi peranan tertentu.
Bila disimak, definisi Ferguson itu member pengertian:
1.    Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, mana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama (lebih tepat ragam-ragam utama dari suatu bahasa,terdapat juga sebuah ragam lain.
2.    Dialek-dialek utama itu,di antaranya, bisa berupa sebuah dialek standar,atau sebuah standar regional.
3.    Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri :
-    Sudah sangat terkodifikasi
-    Gramatikalnya lebih kompleks
-    Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan harmonis
-    Dipelajari melalui pendidikan formal
-    Digunakan terutama bahasa tulis dan bahasa lisan formal
-    Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari
Fungsi merupakan criteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson dalam masyarakat ddiglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi (di singkat T atau ragam T),dan yang kedua disebut rendah (di singkat R atau ragam R)
Distribusi fungsional dialek T dan dialek R mempunyai arti bahwa terdapat situsi dimana hanya dialet T yang sesuai untuk digunakan,dan dalam situasi lain hanya dialek R yang bisa digunakan fungsi T hanya pada situasi resmi dan formal,sedangkan fungsi hanya pada situasi informal dan santai.
Penggunaan dialek T atau R yang tidak cocok dengan situasinya menyebabkan si penutur bisa disoroti, mungkin menimbulkan ejakan,cemoohan, atau tertawaan orang lain. Sastra dan puisi rakyat memang menggunakan dialek R,tetapi banyak anggota masyarakat beranggapan bahwa hanya sastra atau puisi dalam dialek T-lah yang sebenarnya karya sastra suatu bangsa.
Prestisi. Dalam masyarakat para penutur biasanya menganggap dialek T lebih bergensi,lebih superior,lebih terpandang,dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap interior; malah ada yang menolak keberadaannya.
Warisan kesusastraan. Pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapa kesusastraan dimana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bangsa tersebut. Kalau ada juga karya sastra kontemporer dengan mengunakan ragam T, maka dirasakan sebagai kelanjutan dari tradisi itu, yakni dalam karya sastra harus dalam dalam ragam T.
Pemerolehan. Ragam diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.
Standardisasi. Karena ragam T di pandang sebagai ragam yang bergengsi, maka standardisasi di lakukan terhadap ragam T melalui kodifikasi formal. Berbeda dengan ragam R, rgam R diurus dan diperhatikan karena jarang ada kajian yang menyinggung adanya ragam R atau kajian khusus mengenai ragam R tersebut. Kalau pun ada biasanya di lakukan oleh para peneliti dari masyarakat bahasa lain, dan di tulis dalam bahasa lain.
Stabilitas. Kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama di mana ada sebuah variasi bahasa yang di pertahankan eksitensinya dalam masyarakat itu. Pertentangan atau perbedaan antara ragam T dan ragam R dalam masyarakat diglosis selalu di tonjolkan karena karena ada perkembangan dalam bentuk-bentuk campuran yang memiliki ciri ragam T dan R.
Gramatiaka. Fergusen berpandangan bahwa ragam T dan ragam R dalam diglosis merupakan bentuk-bentuk dari bahasa yang sama.
Leksikon. Sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam Radalah sama, namun ada kosakata yang pada ragam T yang tidak ada pada ragam R atau sebaliknya.
Fonologi. Dalam bidang fonologi ada perbedaan antara ragam T dan raagam R. Forgusen mengatakan bahwa sistem bunyi ragam t dan ragam R sebenarnya merupakan sistim tunggal, namun fonologi T merupakan sistem dasar, sedangkan fonologi R yang beragam-ragam merupakan subsistem atau parasistem.
Di bagian akhir akhir artikelnya forgusen menyatakan bahwa suatu masyarakat diglosis bisa bertahan/stabil dalam waktu yang cukup lama meskipun terdapat “tekanan-tekanan” tekanan yang melunturkannya. Tekanan tersebut antara lain :
1.    Meningkatkan kemempuan keaksaraan dan meluasnya komunikasi verbal pada satu negara.
2.    Menggunaan peningkatan bahasa tulis.
3.    Perkembangan sosialisme dengan keinginan adanya sebuah bahasa nasional sebagai lambang kenasionalan suatu bangsa.

Kalau ferguson melihat diglosia hanya sebagai adanya pembedaan fungsi ragam T dan ragam R dalam sebuah bahasa , maka Fishman melihatdiglosia sebagai adanya  perbedaan fungsi, mulai dari perbedaan fungsi sampai adanya perbedaan fungsi dari dua bahasa yang berbeda. Jadi, di dalamnya termaksud perbedaan yang terdapat antara dialek, register, atau variasi bahasa secara fungsional (Fishman 1972).
Pakar sosiologi yang lain,yakni fasold (1987) mengembangkan konsep diglosia ini menjadi apa yang disebutkan broad diglosia (diglosia luas). Didalam konsep broad diglosia perbedaan itu tidak hanya antara dua bahasa atau dua ragam  atau dua dialeb secara biner,melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dua dialeb itu. Dengan demikian termasuk juga keadaan masyarakat yang didalamnya ada   diperbedakan tingkatan fungsi kebahasaan,sehingga muncullah apa yang disebut fasold diglosia ganda dalam bentuk yang disebut double overlapping diglosia,double-nested diglosia, dan near polyglosia.
Yang dimaksud dengan double overlapping diglosia adalah adanya situasi pembedaan derajat dan fungsi bahasa secara berganda sebagai contoh adalah situasi kebahasaan di Tanzania,seperti yang dilaporkan abdulaziz Mklifi dan dikutip oleh fasold  (1984). Di Tanzania ada digunakan bahasa inggris,bahasa swahili adalah bahasa dan yang menjadi bahasa R-nya adalah sejumlah bahasa daerah .
Realisasi  tutur dalam masyarakat Tanzania yang multilingual berdiglosia ganda ini adalah sebagai berikut. bahasa daerah dipelajari dirumah sebagai bahasa ibu. Bahasa swahili dipelajari disekolah dasar dan digunakan sebagai bahasa pengantar proses belajar mengajar. Maka,dari cara pemerolehan dan fungsi penggunaannya bahasa daerah adalah bahasa R,dan bahasa swahili berstatus sebagai bahasa T.kemudian ketika anak-anak Tanzania memasuki pendidikan yang lebih tinggi mereka harus belajar bahasa inggris sebagai mata pelajaran. Oleh karena bahasa inggris dipersyaratkan untuk keberhasilan,dan harus digunakan untuk situasi formal.maka bahasa inggris menjadi berstatus sebagai bahasa T terhadap bahasa swahili yang digunakan dalam situasi-situasi informal.
Double-nested diglosia adalah keadaan dalam masyarakat multilingual,dimana terdapat dua bahasa yang diperbedakan satu sebagai bahasa T,dan yang lain sebagai bahasa R. Tetapi baik bahasa T maupun bahasa R itu masing-masing mempunyai ragam atau dialeg yang masing-masing juga diberi status sebagai ragam T dan ragam R. Sebagai contoh kita ambil keadaan kebahasaan di khalapur,sebuah desa diutara Delhi, India, sebagai mana dideskripsikan oleh Gumperz (1964). Dalam masyarakat tutur kalakarur ada dua bahasa yaitu bahasa hindi dan bahasa khalakapur,yaitu salah satu fariasi bahasa hindi dengan jumlah persamaan dan perbedaan dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis,dan leksikon. Bahasa khalakapur dipelajari dirumah,dan digunakan oleh setiap orang di desa untuk hubungan lokal sehari-hari.sedangkan bahasa hindi dipelajari disekolah, atau melalui warga yang bermukiman dikota,maupun diluar kota, Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa khalakapur adalah masyarakat diglosis dengan bahasa hindi sebagai bahasa T, dan bahasa khalakapur sebagai bahasa R.

6.3 Kaitan Bilingualisme dan Diglosia
Bagaimana hubungan antara diglosia dan bilingualisme sebenarnya secara tidak langsung sudah dibicarakan di atas. Kalau diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa ( terutama fungsi T dan L ) dan bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat , maka Fishman ( 1977 ) menggambarkan hubungan diglosia dan bilingualisme itu seperti tampak dalam bagan berikut :
   
Diglosia
   
+   
-
Bilingualisme    +    1.    Bilingualisme dan diglosia
    2.    Bilingualisme tanpa diglosia
    -    3. Diglosia tanpa                              bilingualisme    4. Tidak diglosia tidak bilingualisme

Dari bagian itu tampak adanya empat jenis hubungan antara bilingualisme dan diglosia , yaitu (1) bilingualisme dan diglosia, (2) bilingualisme tanpa diglosia, (3) diglosia tanpa bilingualism dan (4) tidak bilingualisme tidak diglosia. Di dalam masyarakat yang dikarakterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan diglosia hampir setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R. Kedua ragam atau bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing yang tidak dapat dipertukarkan. Contoh : masyarakat tutur yang bilingual dan diglosis adalah di Paraguay. Di sana bahasa Guarani , salah satu bahasa asli  Amerika , berstatus sebagai bahasa R dan bahasa Spanyol yang merupakan bahasa Indo Eropa berstatus sebagai bahasa T. Keduanya digunakan menurut fungsinya masing-masing. Bahasa Guarani untuk komunikasi santai percakapan sehari-hari dan informal ; sedangkan bahasa Spanyol untuk komunikasi resmi atau formal.
Di dalam masyarakat yang bilingualis tetapi tidak diglosia terdapat sejumlah individu yang bilingual , namun mereka tidak membatasi penggunaan satu bahasa untuk satu situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain pula. Contoh masyarakat yang bilingual tetapi tidak disertai diglosia adalah masyarakat di Montreal, Kanada.
Suatu masyarakat yang pada mulanya bilingual dan diglosis, tetapi kemudian berubah menjadi masyarakat yang bilingual tetapi tidak diglosis dapat terjadi apabila sifat diglosisnya “bocor”. Dalam kasus ini sebuah variasi atau bahasa “merembes” ke dalam fungsi yang sudah dibentuk untuk variasi atau bahasa lain. Hasil perembesan ini mungkin akan menyebabkan terbentuknya sebuah variasi baru ( kalau T dan R mempunyai struktur yang sama); atau penggantian salah satunya oleh yang lain ( kalau T dan R sama strukturnya). Sebuah contoh bilingualism tanpa diglosia di R sebelum ada T adalah di Belgia yang berbahasa Jerman berlangsung dengan disertai meluasnya bilingualisme, di mana masing-masing bahasa dapat digunakan untuk berbagai tujuan.
Di dalam masyarakat yang berciri diglosia tetapi tanpa bilingualisme terdapat dua kelompok penawar. Kelompok pertama yang biasanya lebih kecil merupakan kelompok rulling group yang hanya berbicara dalam bahasa T sedangkan kelompok kedua yang biasanya lebih besar tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat hanya berbicara bahasa R. Situasi diglosia tanpa bilingualisme banyak kita jumpai di Eropa sebelum perang dunia pertama. Sesungguhnya masyarakat yang diglosis tanpa disertai bilingualisme tidak dapat disebut sebagai satu masyarakat tutur , sebab kedua kelompok tersebut tidak berinteraksi ; kecuali secara minim dengan menggunakan interpreter atau menggunakan bahasa pijin.
Pola keempat dalam pembicaraan hubungan diglosia dan bilingualisme adalah masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingualisme. Di dalam masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingualisme tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala macam tujuan. Keadaan ini hanya mungkin ada dalam masyarakat yang primitive atau terpencil, yang dewasa ini tentunya sangat sukar ditemukan. Masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual ini akan mencair ( self-liquidating) apabila telah bersentuhan dengan masyarakat lain ( Fishman 1972: 106).
Dari keempat pola masyarakat kebahasaan di atas yang paling stabil hanya dua, yaitu (1) diglosia dengan bilingualism dan (2) diglosia tanpa bilingualisme. Keduanya berkarakter diglosia, sehingga perbedaannya adalah terletak pada bilingualisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar