Selamat Datang

Kamis, 31 Oktober 2013

KETERKAITAN ANTARA TUJUAN, KEGIATAN, DAN PENILAIAN PERENCANAAN PENGAJARAN BAHASA INDONESIA DI SLTP/SLTA#

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena berkat limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nyalah sehingga penyusunan makalah yang berjudul “Keterkaitan Antara Tujuan, Kegiatan, dan Penilaian Perencanaan Pengajaran Bahasa Indonesia di SLTP dan SLTA” dapat terselesaikan dengan baik. Pembuatan makalah ini berhasil disusun berkat semangat dan kerja sama yang kuat didalam sebuah kelompok dengan berbekal ilmu pengetahuan yang seadanya serta referensi-referensi lainnya seperti  buku cetak, modul,  situs internet ataupun media-media bacaan lainnya.
Makalah ini disusun berdasarkan himbauan atau anjuran dari Drs. H. Zalili Sailan M.PD. selaku dosen kami pada mata kuliah Perencanaan Pengajaran Bahasa Indonesia, agar membuat makalah sebagai salah satu tugas kelompok, khususnya kelopmpok VI yang mampu memberikan mahasiswa dan mahasiswi informasi untuk dijadikannya penunjang mata kuliah tersebut. Oleh karena itu kami menyusun makalah ini secara sistematis dan sesuai dengan gaya bahasa yang mudah dipahami sehingga dapat menarik perhatian dan menambah minat baca siapapun dengan penyusunannya yang singkat, jelas, serta materinya yang padat untuk kemudian dijadikan sebagai bahan diskusi.
Namun demikian, kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih terdapat kekurangan dalam proses penyusunannya. Oleh karena itu, kami juga mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak, terutama dari dosen serta teman-teman mahasiswa lainnya demi terciptanya kesempurnaan dari makalah ini.


Kendari, 23 Oktober 2012


Tim Penyusun






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Perencanaan adalah suatu proses dan cara berpikir yang dapat membantu menciptakan hasil yang diharapkan. Perencanaan yang dibuat merupakan antisipasi dan perkiraan terhadap proses yang akan dilakukan dalam pembelajaran, sehingga tercipta  situasi yang memungkinkan terjadinya proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Menurut Akhlan dan Rahman (1997:7), karakteristik perencanaan pengajaran yang baik hendaknya mengandung prinsip sebagai berikut:
a.    Mengembangkan hubungan interaksi yang baik di antara sesama manusia, dalam hal ini siswa dan guru serta personal terkait.
b.    Merupakan suatu wahana atau wadah untuk mengembangkan segala potensi yang ada dan dimiliki oleh anak didik.
c.    Memiliki sikap objektif rasio (tepat dan masuk akal), komprehensif dan sistematis (menyeluruh dan tersusun rapi).
d.    Mengendalikan kekuatan sendiri, bukan didasarkan atas kekuatan orang lain,
Didukung oleh fakta dan data yang menunjang pencapaian tujuan yang telah di  dirumuskan.
e.    Fleksibel dan dinamis, artinya mudah disesuaikan dengan keadaan serta perkembangan ke arah yang lebih baik dan maju.
Setiap pembelajaran didahului dengan pembuatan rencana pengajaran yang meliputi
   
Program tahunan, semester dan persiapan mengajar. Rencana pengajaran disusun berdasarkan silabus dan disesuaikan dengan kalender pendidikan yang berlaku, jadwal mata pelajaran yang berlangsung dan sarana yang tersedia. Program tahunan merupakan rencana pembelajaran selama satu tahun disusun berdasarkan kurikulum yang disesuaikan dengan kalender pendidikan yang berlaku.

Proses belajar mengajar adalah suatu aspek dari lingkungan sekolah yang terorganisasi. Lingkungan ini diatur serta diawasi agar kegiatan belajar terarah sesuai dengan tujuan pendidikan. Pengawasan itu bertujuan untuk menentukan lingkungan belajar yang baik, lingkungan yang menantang dan merangsang siswa untuk belajar, memberikan rasa nyaman dan keluasan serta mencapai tujuan yang diharapkan.

B.    Masalah

    Adapun masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah Keterkaitan Antara Tujuan, Kegiatan, Dan Penilaian Perencanaan Pengajaran Bahasa Indonesia Di SLTP/SLTA
C.    Tujuan

    Untuk mengetahui pengertian tujuan, kegiatan, dan penilaian perencanaan pengajaran Bahasa Indonesia di SLTP/SLTA
    Untuk mengetahui keterkaitan antara tujuan, kegiatan, dan penilaian perencanaan pengajaran Bahasa Indonesia di SLTP/SLTA


















BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian dan Tujuan Perencanaan Pengajaran
 Tujuan adalah sesuatu yang ingin dicapai dari suatu kegiatan. Tujuan kegiatan pembelajaran adalah hasil pembelajaran. Hasil pembelajaran bahasa adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap berbahasa yang dicapai warga belajar. Perencanaan tujuan berarti proses penyusunan sesuatu yang ingin dicapai dari suatu aktivitas. Perencanaan tujuan pembelajaran yakni proses penyusunan hal yang ingin dicapai dari kegiatan pembelajaran.

Sumber Tujuan Pembelajaran Tidak disangkal oleh semua perencana dan pengembang pembelajaran tentang pentingnya tujuan. Tujuan adalah sesuatu yang ingin dicapai. Pendapat Kemp yang didukung pendapat Dick dan Carey mendeskripsikan bahwa tujuan pembelajaran umum yakni langkah pertama dalam penyusunan perencanaan pembelajaran. Guru pun menyadari bahwa kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah pada dasarnya diarahkan untuk pencapaian tujuan. Hal ini dibenarkan oleh Dick dan Carey (1978:13) yang mengetengahkan pendapat tentang tujuan pembelajaran umum. Menurut ia identifikasi tujuan pembelajaran umum merupakan aktivitas yang pertama. Sumber tujuan pembelajaran umum dikemukakan Gafur (1982:34-35) ada empat, yakni kurikulum, pendapat ahli bidang studi, hasil analisis tugas, dan hasil observasi.

1)    Kurikulum

Kurikulum, dalam hal ini GBPP (Garis-Garis Besar Program Pengajaran) mengadung tujuan pembelajaran. Baik Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, maupun Kurikulum 2004 telah berorientasi pada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang terdapat dalam GBPP itulah yang dijadikan sumber tujuan pembelajaran. Tujuan yang diharapkan oleh pembelajaran Bahasa Indonesia menurut Kurikulum: GBPP Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk SLTP tahun 1994 meliputi tujuan penguasaan kebahasaan, kemampuan memahami, dan menggunakan bahasa Indonesia, serta apresiasi sastra Indonesia.



2)    Pendapat Ahli Bidang Studi
 Seseorang dikatakan ahli apabila ia mahir, paham sekali dalam suatu ilmu. Ahli bahasa berarti orang yang mahir dalam pengetahuan bahasa. Dengan kemahirannya seorang ahli bahasa dapat menentukan rumusan-rumusan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai oleh warga belajar atau sekelompok warga belajar. Begitu halnya dengan ahli bidang studi bahasa. Ahli bidang studi Bahasa Indonesia dengan keahliannya banyak mengemukakan pendapat tentang tujuan pembelajaran bidang studi Bahasa Indonesia. Tidak sedikit pendapat ahli bidang studi Bahasa Indonesia diangkat dan digunakan menjadi rumusan tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini terbukti dengan banyaknya rumusan pembelajaran yang ditulis pada buku-buku pelajaran dan pembelajaran. Tujuan itu bukan rumusan pembelajaran yang dipetik dari Kurikulum (GBPP), tetapi benar-benar pendapat ahli bidang studi yang membuat tulisan. Dengan demikian, banyak orang yang memanfaatkan rumuran tujuan pembelajaran buah karya ahli bidang studi.
3)    Hasil Analisis Tugas
Penyelidikan terhadap sesuatu perbuatan dapat memperoleh rumusan tujuan perbuatan tersebut. Memang dalam penyelidikan semacam ini dapat diketahui keadaan yang sebenarnya, baik sebab-sebabnya, duduk perkaranya, maupun tujuannya. Hasil analisis suatu perbuatan dapat memunculkan tujuan yang ingin dicapai. Rumusan tujuan berdasarkan hasil analisis tugas memberi informasi kepada penganalisis.
Dengan menganalisis kegiatan seseorang dalam pelaksanaan tugas/pekerjaan tertentu, dapat diperoleh jawaban tujuan pelaksanaan tugas/pekerjaan tersebut.

4)    Hasil Observasi
Dalam pembuktian suatu hipotesis orang sering mengadakan observasi. Observasi pada dasarnya adalah suatu kegaiatan pengamatan atau peninjauan secara cermat. Orang dapat mengatakan benar berdasarkan hasil observasi, orang dapat mengatakan salah berdasarkan hasil observasi. Bahkan data hasil wawancara dan data hasil pengisian angket dapat digugurkan dengan data hasil observasi.
Observasi termasuk salah satu bentuk pengumpulan data yang dapat dipercaya. Dengan observasi orang dapat mengamati secara teliti sesuatu yang dikerjakan seseorang atau sekelompok orang dalam tugas tertentu. Dengan observasi kita dapat mengetahui dan memperoleh informasi tentang tujuan yang harus dicapai dalam mempelajari bidang tertentu.  Berdasarkan hasil observasi kita dapat merumuskan tujuan yang ingin dicapai oleh sesuatu kegiatan.

B.    Kegiatan Perencanaan Pengajaran Bahasa Indonesia
Perencanaan pengajaran merupakan suatu program bagaimana mengajarkan apa-apa yang sudah dirumuskan dalam kurikulum. Perencanaan pengajaran (instructional design) dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yaitu :   1. Perencanaan pengajaran sebagai sebuah proses; 2. Perencanaan pengajaran sebagai sebuah disiplin; 3. perencanaan pengajaran sebagai sains (science); 4. perencanaan pengajaran sebagai realitas; 5.  perencanaan pengajaran sebagai suatu sistem; dan 6. perencanaan pengajaran sebagai teknologi.
Penyusunan program pengajaran sebagai sebuah proses, disiplin, ilmu pengetahuan, realitas, sistem dan teknologi pembelajaran bertujuan agar pelaksanaan pengajaran berjalan lebih lancar dan hasilnya lebih baik. Tujuan pendidikan ini mengacu pada tujuan pendidikan nasional sebagaimana dituntun oleh UUSPN No. 20 tahun 2003 bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman  dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

a)    Fungsi- Fungsi Manajemen dalam Pembelajaran
Manajemen pembelajaran diartikan sabagai usaha dan tindakan kepala sekolah sebagai pemimpin instructional di sekolah dan usaha maupun tindakan guru sebagai pemimpin pembelajaran di kelas dilaksanakan sedemikian rupa untuk memperoleh hasil dalam rangka mencapai tujuan program sekolah dan juga pembelajaran.
a)    Penerapan fungsi perencanaan dalam kegiatan pembelajaran
Dalam konteks pembelajaran, perencanaan dapat diartikan sebagai proses penyusunan materi pelajaran, penggunaan media pengajaran, penggunaan pendekatan atau metode pengajaran, dalam suatu alokasi waktu yang akan dilaksanakan pada masa satu semester yang akan datang untuk mencapai tujuan yang ditentukan.
b)     Penerapan Fungsi Pengorganisasian dalam Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pengorganisasian pembelajaran bagi tiap guru dalam institusi sekolah dimaksudkan untuk menentukan siapa yang akan melaksanakan tugas sesuai prinsip pengorganisasian, dengan membagi tanggung jawab setiap personal sekolah dengan  jelas sesuai bidang, wewenang, mata ajaran, dan tanggung jawabnya. Pengorganisasian pembelajaran meliputi aspek: 1. Menyediakan fasilitas; 2. Pengelompokan komponen pembelajaran dalam struktur sekolah secara teratur; 3.Membentuk struktur wewenang dan mekanisme koordinasi pembelajaran; 4. Merumuskan dan menetapkan metode dan prosedur pembelajaran; dan 5. Memilih, mengadakan latihan, dan pendidikan dalam upaya pertumbuhan jabatan guru dilengkapi dengan sumber-sumber lain yang diperlukan.
c)    Penerapan Fungsi Penggerakan dalam Kegiatan Pembelajaran
Penggerakkan dalam proses pembelajaran dilakukan oleh pendidik dengan suasana yang edukatif agar dapat melaksanakan tugas belajar dengan penuh antusias, dan mengoptimalkan kemampuan belajarnya dengan baik. Peran guru sangat penting dalam menggerakkan dan memotivasi para siswanya melakukan aktivitas belajar baik itu dilakukan di kelas, di laboratorium, di perpustakaan, praktek kerja lapangan, dan tempat lainnya yang memungkinkan para siswa melakukan kegiatan belajar. Sedangkan kepala sekolah sebagai pemimpin instruksional menggerakkan semua personel dan potensi sekolah untuk mendukung sepenuhnya kegiatan pembelajaran yang dikendalikan oleh guru dalam upaya membelajarkan anak didik.
d)    Penerapan Fungsi Pengawasan dalam Kegiatan Pembelajaran
Dalam konteks pembelajaran pengawasan dilakukan oleh kepala sekolah terhadap seluruh kelas apakah dengan sungguh-sungguh memberikan pelayanan kebutuhan pembelajaran. Pengawasan dalam perencanaan pembelajaran meliputi: 1. Mengevaluasi pelaksanaan kegiatan, disbanding dengan rencana; 2. Melaporkan penyimpangan untuk tindakan koreksi dan merumuskan tindakan koreksi, menyusun standar-standar pembelajaran dan sasaran-sasaran; 3. Menilai pekerjaan dan melakukan tindakan koreksi terhadap penyimpangan-penyimpangan baik institusional satuan pendidikan maupun proses pembelajaran.
e)    Tenaga Kependidikan
Guru sebagai tenaga pendidik adalah seseorang atau sekelompok orang yang berprofesi mengelola kegiatan belajar dan mengajar serta seperangkat peran lainnya yang memungkinkan berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yang lebih efektif, melalui transformasi. Tenaga pendidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan.







C.    Penilaian Perencanaan Pengajaran Bahasa Indonesia
Penilaian merupakan rangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan.
Penilaian dalam KTSP adalah penilaian berbasis kompetensi, yaitu bagian dari kegiatan pembelajaran yang dilakukan untuk mengetahui pencapaian kompetensi peserta didik yang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Penilaian dilakukan selama proses pembelajaran dan/atau pada akhir pembelajaran. Fokus penilaian pendidikan adalah keberhasilan belajar peserta didik dalam mencapai standar kompetensi yang ditentukan. Pada tingkat mata pelajaran, kompetensi yang harus dicapai berupa Standar Kompetensi (SK) mata pelajaran yang selanjutnya dijabarkan dalam Kompetensi Dasar (KD). Untuk tingkat satuan pendidikan, kompetensi yang harus dicapai peserta didik adalah Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Ada empat istilah yang terkait dengan konsep penilaian yang digunakan untuk mengetahui keberhasilan belajar peserta didik, yaitu pengukuran, pengujian, penilaian, dan evaluasi.
    Pengukuran (measurement) adalah proses penetapan ukuran terhadap suatu gejala menurut aturan tertentu (Guilford, 1982). Pengukuran pendidikan berbasis kompetensi berdasar pada klasifikasi observasi unjuk kerja atau kemam¬puan peserta didik dengan menggunakan suatu standar. Pengukuran dapat menggunakan tes dan non-tes. Pengukuran pendidikan bisa bersifat kuantitatif atau kualitatif. Kuantitatif hasilnya berupa angka, sedangkan kualitatif hasilnya bukan angka (berupa predikat atau pernyataan kualitatif, misalnya sangat baik, baik, cukup, kurang, sangat kurang), disertai deskripsi penjelasan prestasi peserta didik.
    Pengujian merupakan bagian dari pengukuran yang dilanjutkan dengan kegiatan penilaian.
    Penilaian (assessment) adalah istilah umum yang mencakup semua metode yang biasa digunakan untuk menilai unjuk kerja individu atau kelompok peserta didik. Proses penilaian mencakup pengumpulan bukti yang menunjukkan pencapaian belajar peserta didik. Penilaian merupakan suatu pernyataan berdasarkan sejumlah fakta untuk menjelaskan karakteristik seseorang atau sesuatu (Griffin & Nix, 1991). Penilaian mencakup semua proses pembelajaran. Oleh karena itu, kegiatan penilaian tidak terbatas pada karakter¬istik peserta didik saja, tetapi juga mencakup karakteristik metode mengajar, kurikulum, fasilitas, dan administrasi sekolah. Instrumen penilaian untuk peserta didik dapat berupa metode dan/atau prosedur formal atau informal untuk menghasilkan informasi tentang peserta didik. Instrumen penilaian dapat berupa tes tertulis, tes lisan, lembar pengamatan, pedoman wawancara, tugas rumah, dan sebagainya. Penilaian juga diartikan sebagai kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran atau kegiatan untuk memperoleh informasi tentang pencapaian kemajuan belajar peserta didik.
    Evaluasi (evaluation) adalah penilaian yang sistematik tentang manfaat atau kegunaan suatu objek (Mehrens & Lehmann, 1991). Dalam melakukan evaluasi terdapat judgement untuk menentukan nilai suatu program yang sedikit banyak mengandung unsur subjektif. Evaluasi memerlukan data hasil pengukuran dan informasi hasil penilaian yang memiliki banyak dimensi, seperti kemampuan, kreativitas, sikap, minat, keterampilan, dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam kegiatan evaluasi, alat ukur yang digunakan juga bervariasi bergantung pada jenis data yang ingin diperoleh.
Pengukuran, penilaian, dan evaluasi bersifat bertahap (hierarkis), maksudnya kegiatan dilakukan secara berurutan, dimulai dengan pengukuran, kemudian penilaian, dan terakhir evaluasi.
1.    Prinsip Penilaian
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penilaian hasil belajar peserta didik antara lain:
1)    penilaian ditujukan untuk mengukur pencapaian kompetensi;
2)    penilaian menggunakan acuan kriteria yakni berdasarkan pencapaian kompetensi peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran;
3)    penilaian dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan;
4)    hasil penilaian ditindaklanjuti dengan program remedial bagi peserta didik yang pencapaian kompetensinya di bawah kriteria ketuntasan dan program pengayaan bagi peserta didik yang telah memenuhi kriteria ketuntasan;
5)    penilaian harus sesuai dengan kegiatan pembelajaran.

Penilaian hasil belajar peserta didik harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1)    Sahih (valid), yakni penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan yang diukur;
2)    Objektif, yakni penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas, tidak dipengaruhi subjektivitas penilai;
3)    Adil, yakni penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik, dan tidak membedakan latar belakang sosial-ekonomi, budaya, agama, bahasa, suku bangsa, dan jender;
4)    Terpadu, yakni penilaian merupakan komponen yang tidak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran;
5)    Terbuka, yakni prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan;
6)    Menyeluruh dan berkesinambungan, yakni penilaian mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik yang sesuai, untuk memantau perkembangan kemampuan peserta didik;
7)    Sistematis, yakni penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti langkah-langkah yang baku;
8)    Menggunakan acuan kriteria, yakni penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan;
9)     Akuntabel, yakni penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik, prosedur, maupun hasilnya


2.    Teknik Penilaian
Berbagai macam teknik penilaian dapat dilakukan secara komplementer (saling melengkapi) sesuai dengan kompetensi yang dinilai. Teknik penilaian yang dimaksud antara lain melalui tes, observasi, penugasan, inventori, jurnal, penilaian diri, dan penilaian antarteman yang sesuai dengan  karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik.
1)    Tes adalah pemberian sejumlah pertanyaan yang jawabannya dapat benar atau salah. Tes dapat berupa tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik atau tes kinerja. Tes tertulis adalah tes yang menuntut peserta tes memberi jawaban secara tertulis berupa pilihan dan/atau isian. Tes yang jawabannya berupa pilihan meliputi pilihan ganda, benar-salah, dan menjodohkan. Sedangkan tes yang jawabannya berupa isian dapat berbentuk isian singkat dan/atau uraian. Tes lisan adalah tes yang dilaksanakan melalui komunikasi langsung (tatap muka) antara peserta didik dengan pendidik. Pertanyaan dan jawaban diberikan secara lisan. Tes praktik (kinerja) adalah tes yang meminta peserta didik melakukan perbuatan/mendemonstasikan/ menampilkan keterampilan.
2)    Observasi adalah penilaian yang dilakukan melalui pengamatan terhadap peserta didik selama pembelajaran berlangsung dan/atau di luar kegiatan pembelajaran. Observasi dilakukan untuk mengumpulkan data kualitatif dan kuantitatif sesuai dengan kompetensi yang dinilai, dan dapat dilakukan baik secara formal maupun informal. Penilaian observasi dilakukan antara lain sebagai penilaian akhir kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, serta kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.
3)    Penugasan adalah pemberian tugas kepada peserta didik baik secara perorangan maupun kelompok. Penilaian penugasan diberikan untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur, dan dapat  berupa praktik di laboratorium, tugas rumah, portofolio, projek, dan/atau produk.
4)    Portofolio adalah kumpulan dokumen dan karya-karya peserta didik dalam bidang tertentu yang diorganisasikan untuk mengetahui minat, perkembangan prestasi, dan kreativitas peserta didik (Popham, 1999). Bentuk ini cocok untuk mengetahui perkembangan unjuk kerja peserta didik dengan menilai bersama  karya-karya atau tugas-tugas yang dikerjakannya. Peserta didik dan pendidik perlu melakukan diskusi untuk menentukan skor. Pada penilaian portofolio, peserta didik dapat menentukan karya-karya yang akan dinilai, melakukan penilaian sendiri kemudian hasilnya dibahas. Perkembangan kemampuan peserta didik dapat dilihat pada hasil penilaian portofolio. Teknik ini dapat dilakukan dengan baik apabila jumlah peserta didik yang dinilai sedikit. 
5)    Projek adalah tugas yang diberikan kepada peserta didik dalam kurun waktu tertentu. Peserta didik dapat melakukan penelitian melalui pengumpulan, pengorganisasian, dan analisis data, serta pelaporan hasil kerjanya. Penilaian projek dilaksanakan terhadap persiapan,  pelaksanaan, dan hasil.
6)    Produk (hasil karya) adalah penilaian yang meminta peserta didik menghasilkan suatu hasil karya. Penilaian produk dilakukan terhadap persiapan, pelaksanaan/proses pembuatan, dan hasil.
7)    Inventori merupakan teknik penilaian melalui skala psikologis yang dipakai untuk mengungkapkan sikap, minat, dan persepsi peserta didik terhadap objek psikologis.
8)    Jurnal merupakan catatan pendidik selama proses pembelajaran yang berisi informasi hasil pengamatan terhadap kekuatan dan kelemahan peserta didik yang berkait dengan kinerja ataupun sikap dan perilaku peserta didik yang dipaparkan secara deskriptif.
9)    Penilaian diri merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk menilai dirinya sendiri mengenai berbagai hal. Dalam penilaian diri, setiap peserta didik harus mengemukakan kelebihan dan kekurangan dirinya secara jujur.
10)    Penilaian antarteman merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik mengemukakan kelebihan dan kekurangan temannya dalam berbagai hal secara jujur.

D.    Keterkaitan Antara Tujuan, Kegiatan, Dan Penilaian Perencanaan Pengajaran Bahasa Indonesia Di SLTP/SLTA
Tujuan adalah sesuatu yang ingin dicapai dari suatu kegiatan. Tujuan kegiatan pembelajaran adalah hasil pembelajaran. Hasil pembelajaran bahasa adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap berbahasa yang dicapai warga belajar. Perencanaan tujuan berarti proses penyusunan sesuatu yang ingin dicapai dari suatu aktivitas. Perencanaan tujuan pembelajaran yakni proses penyusunan hal yang ingin dicapai dari kegiatan pembelajaran.
Sumber Tujuan Pembelajaran Tidak disangkal oleh semua perencana dan pengembang pembelajaran tentang pentingnya tujuan. Tujuan adalah sesuatu yang ingin dicapai. Pendapat Kemp yang didukung pendapat Dick dan Carey mendeskripsikan bahwa tujuan pembelajaran umum yakni langkah pertama dalam penyusunan perencanaan pembelajaran. Guru pun menyadari bahwa kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah pada dasarnya diarahkan untuk pencapaian tujuan.

Secara harfiah kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris education; dalam bahasa Arab: At-Taqdir; dalam bahasa Indonesia berarti penilaian. Dengan demikian secara harfiyah dapat evaluasi pendidikan diartikan sebagai penilaian dalam bidang pendidikan atau penilaian mengenai hal yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan.
Adapun dari segi istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Edwind Wandt dan Gerald W. Brown (1977) evaluasi adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Apabila definisi Edwind Wandt dan Gerald W. Brown (1977) digunakan untuk memberi definisi tentang evaluasi pendidikan, maka evaluasi pendidikan itu dapat diberi pengertian sebagai suatu tindakan atau kegiatan (yang dilaksanakan dengan maksud untuk) atau suatu proses (yang berlangsung dalam rangka) menentukan nilai dari segala sesuatu dalam dunia pendidikan (yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan, atau yang terjadi di lapangan pendidikan). Atau singkatnya evaluasi pendidikan adalah kegiatan atau proses penentuan nilai pendidikan sehingga dapat diketahui mutu atau hasil-hasilnya.

Pengukuran untuk menilai inilah yang digunakan dalam dunia pendidikan.
Penilaian berarti menilai sesuatu. Sedangkan menilai adalah mengambil keputusan terhadap sesuatu dengan mendasarkan diri atau berpegang pada ukuran baik dan buruk, sehat atau sakit, pandai atau bodoh dan sebagainya. Jadi penilaian itu sifatnya adalah kualitatif.
Sedangkan evaluasi adalah mencakup dua kegiatan tadi, yaitu pengukuran dan penilaian. Evaluasi adalah kegiatan atau proses untuk menilai sesuatu. Untuk dapat menentukan nilai dari sesuatu yang sedang dinilai itu dilakukanlah pengukuran, dan wujud dari pengukuran itu adalah pengujian, dan pengujian inilah yang dalam dunia kependidikan dikenal dengan istilah tes.
Lebih lanjut dikatakan bahwa istilah penilaian mempunyai arti yang lebih luas di bandingkan dengan istilah pengukuran. Sebab pengukuran itu sebenarnya hanyalah merupakan suatu langkah atau tindakan yang kiranya perlu diambil dalam rangka pelaksanaan evaluasi. Dikatakan “perlu diambil” karena tidak semua penilaian itu harus senantiasa di dahului oleh tindakan pengukuran secara lebih nyata.
Dalam rangka mempertegas perbedaan pengukuran dengan penilaian Wandt dan Brown mengatakan bahwa, pengukuran adalah suatu tindakan atau proses untuk menentukan luas atau kuantitas dari sesuatu; ia akan memberikan jawaban atas pertanyaan How much?. Adapun penilaian atau evaluasi adalah tindakan atau proses untuk menentukan nilai dari sesuatu, dan akan memberikan jawaban atas pertanyaan, What value?.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Tujuan kegiatan pembelajaran adalah hasil pembelajaran. Hasil pembelajaran bahasa adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap berbahasa yang dicapai warga belajar. Perencanaan tujuan berarti proses penyusunan sesuatu yang ingin dicapai dari suatu aktivitas. Perencanaan tujuan pembelajaran yakni proses penyusunan hal yang ingin dicapai dari kegiatan pembelajaran.
Penilaian berarti menilai sesuatu. Sedangkan menilai adalah mengambil keputusan terhadap sesuatu dengan mendasarkan diri atau berpegang pada ukuran baik dan buruk, sehat atau sakit, pandai atau bodoh dan sebagainya. Jadi penilaian itu sifatnya adalah kualitatif.
Sedangkan evaluasi adalah mencakup dua kegiatan tadi, yaitu pengukuran dan penilaian. Evaluasi adalah kegiatan atau proses untuk menilai sesuatu. Untuk dapat menentukan nilai dari sesuatu yang sedang dinilai itu dilakukanlah pengukuran, dan wujud dari pengukuran itu adalah pengujian, dan pengujian inilah yang dalam dunia kependidikan dikenal dengan istilah tes.

B.    Saran
Sebagai penulis pemula, kami menyadari sepenuhnya bahwa tulisan (makalah) ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, adanya masukan atau kritikan yang bersifat konstruktif demi perbaikan tulisan ini sangat kami harapkan.
Melalui tulisan ini kami sarankan kepada pihak-pihak yang akan menjadikan makalah ini sebagai bahan rujukan untuk penyusunan tulisan (makalah) selanjutnya. Besar harapan, dengan makalah ini bisa menjadi nilai lebih untuk menata masa depan selanjutnya. 

Jantung Segitiga Karang Dunia#

Surga di atas lautan adalah hal yang biasa. Namun bagaimana bila ternyata ada surga di bawah laut? Tentu ini adalah hal yang tidak biasa. Kebanyakan orang  sering kali terhipnotis dengan keindahan alam mulai dari area persawahan, perkebunan, taman, hewan, tanaman, dll. Namun mereka tidak pernah menyadari bahwa ternyata ada tempat yang tidak kalah menariknya dari tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi. Yang juga dipenuhi oleh tanaman, hewan, dan bebatuan yang tidak akan menjenuhkan mata saat memandangnya.
Hanya saja tempatnya dikelilingi oleh air laut. Tapi semua itu akan terbayarkan saat mata melihat keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Terumbu karangnya yang beranekaragam, segala jenis hewan laut dapat kita jumpai di sana, dan tidak ketinggalan juga pemandangan saat sang mentari mulai terbenam di ufuk barat. Semuanya itu akan membuat mata tidak akan pernah berkedip sekalipun. Dan hal itu hanya bisa kita jumpai di Kabupaten Wakatobi.
Mungkin kita tidak akan asing lagi mendengar kata Wakatobi. Apalagi untuk para wisatawan lokal maupun wisatawan dari manca negara. Para pelancong yang berkunjung ke wakatobi tidak lain adalah untuk menyaksikan secara langsung keindahan terumbu karangnya yang sekarang telah di kenal di beberapa negara. Di tambah lagi jalur transportasi yang mulai memadai. Hal ini tentu akan memudahkan para tamu undangan untuk masuk ke salah satu taman wisata nasional ini.
Hampir 800 spesies terumbu karang dimiliki oleh Kabupaten Wakatobi. Hal ini menyebabkan Wakatobi merupakan tempat pariwisata yang memiliki jumlah terumbu karang terbanyak di dunia. Meski hanya hanya memiliki 700 lebih spesies terumbu karang, namun tempat ini telah menyihir ribuan orang yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri untuk menikmati keindahan alam bawah laut yang satu ini.
Wakatobi terkenal dengan slogannya, Surga Nyata Bawah Laut di Jantung Segitiga Karang Dunia. Ini disebabkn Indonesia dikelilingi oleh Filipina, Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste dan Kepulauan Solomon yang memiliki 600 spesies koral, atau 75% populasi koral dunia, yang menjadikannya kawasan terumbu karang dengan keragaman hayati tertinggi di dunia. Dan Wakatobi tepat berada di tengah-tengahnya sebagai jantung segitiga karang dunia.
Selain itu ada info lain, bagi   yang memiliki hobi snorkeling dan diving, maka bulan Maret hingga Desember adalah musim yang tepat untuk menyelami perairan spektakuler Wakatobi. Sedangkan pada bulan-bulan Juli dan Agustus, plankton kaya nutrisi yang tumbuh subur di perairan Wakatobi memancing munculnya hewan laut besar.   Namun perlu juga diantisipasi bahwa umumnya pada bulan-bulan itu air laut relatif lebih dingin dari biasanya, sedangkan jangkauan pandang bawah laut terbilang rendah.
Jadi yang berminat untuk mengunjungi Wakatobi, siapkan diri anda untuk sesuatu yang belum pernah anda lihat sebelumnya. Dan puaskan diri anda untuk menikmati surga bawah lautnya.

BILINGUALISME DAN DIGLOSIA



 6.1  Bilingualisme
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingulism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kewibahasaan. Dari istilahnya secara hanafiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua kode bahasa. Secara sosiolingustik, secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (mackey 1962:12, fishman 1975 :73). Untuk menggunakan dua bahasa tentunya seorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan) selain istilah bilingulisme dengan segala jabarannya ada juga istilah multi lingualisme (dalam bahasa Indonesia disebit juga keaneka bahasaan) yakni keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secaara bergantian.
Konsep umum bahwa bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulanya dengan orang lain secara bergantia telah menimbulkan sejumlah masalah yang bisa dibahas kalau orang membicarakan bilingualisme. Masalah-masalah itu adalah ( lihat juga Dittmar 1976:170) :
1)    Sejauh mana taraf kemampuan seseorang akan B2 ( B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik ) sehingga dapat disebut sebagai seorang yang bilingual ?
2)    Apa yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme ini ? Apakah bahasa dalam pengertian langue, atau sebuah kode sehingga termasuk sebuah dialek atau sosialek.
3)    Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian ? Kapan dia harus menggunakan B1-nya, dan dapat pula menggunakan B2-nya ? Kapan pula dia dapat secara bebas untuk dapat menggunakan B1-nya atau B2-nya ?
4)    Sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya.
5)    Apakah bilingualisme itu berlaku pada perseorangan ( seperti disebut dalam konsep umum ) atau juga berlaku pada satu kelompok masyarakat tutur ?
Untuk dapat menjawab pertanyaan pertama, sejauh mana penguasaan seorang terhadap B2 ( B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik karena merupakan bahasa ibu ) sehingga bisa disebut sebagai seorang bilingual. Bloomfield dalam bukunya yang terkenal Language ( 1933:56 ) mengatakan bahwa bilingualisme adalah “kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya”. Konsep Bloomfield mengenai bilingualisme ini banyak dipertanyakan dan dipersoalkan orang. Sebab, pertama bagaimana mengukur kemampuan yang sama dari seorang terhadap dua bahasa yang digunakannya; kedua, mungkinkah ada seorang penutur yang dapat menggunakannya B2-nya sama baiknya dengan B1-nya. Oleh karena itu, batasan Bloomfield mengenai bilingualisme ini banyak dimodifikasi orang. Robert Lado ( 1964:214 ), misalnya mengatakan bahwa bilingualisme adalah “kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimana pun tingkatnya”. Menurut Haugen ( 1961 ) “tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual”. Menurut Haugen selanjutnya, “seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa memahaminya saja”.
Dari pembicaraan di atas dapat disimpulkan sebagai jawaban terhadap pertanyaan pertama bahwa pengertian bilingualisme akhirnya satu rentangan berjenjang mulai menguasai B1 ( tentunya dengan baik karena bahasa ibu sendiri ) ditambah sedikit akan B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2-nya yang berjenjang meningkat sampai menguasai B2 itu sama baiknya dengan penguasaan B1. Kalau bilingualisme sudah sampai tahap ini maka berarti seorang penutur yang bilingual itu akan dapat menggunakan B2 dan B1 sama baiknya untuk fungsi dan situasi apa saja dan di mana saja. Namun, seperti sudah disebutkan di atas, penutur bilingualime yang seperti ini jarang ada.

Pertanyaan kedua, yaitu apakah yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme. Apakah bahasa itu sama dengan langue, atau begaimana ? Untuk menjawab pertanyaan kedua itu, terlebih dahulu kita telusuri pendapat para pakar.
Bloomfield ( 1933 ) juga mengatakan bahwa menguasai dua bahasa berarti menguasai dua buah sistem kode. Kalau yang dimaksud oleh Bloomfield bahwa bahasa itu adalah kode, maka berarti bahasa itu bukan langue, melainkan parole, yang berupa berbagai dialek dan ragam. Pakar lain, Mackey ( 1962:12 ), mengatakan dengan tegas bahwa biligualisme adalah praktek penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur. Untuk penggunaan dua bahasa diperlukan penggunaan kedua bahasa itu dengan tingkat yang sama. Jadi, jelas yang dimaksud dengan bahasa oleh Mackey adalah sama dengan langue. Tetapi pakr lain, Weinrich ( 1968:1 ) memberi pengertian bahasa dalam arti luas, yakni tanpa membedakan tingkat-tingkat yang ada di dalamnya.
Dari pembicaraan di atas dapat kita lihat bahwa yang dimaksud dengan bahasa di dalam bilingualisme itu sangat luas, dari bahasa dalam pengertain langue, seperti bahasa Sunda dan bahasa Madura sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa, seperti bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek Surabaya. Kalau yang dimaksud dengan bahasa adalah dialek, maka berarti hampir semua anggota masyarakat Indonesia adalah bilingual.
Pertanyaan ketiga, mempersalahkan kapan seorang penutur bilingual menggunakan kedua bahasa yang dikuasainya secara bergantian; kapan harus menggunakan B1-nya, kapan pula harus menggunakan B2-nya dan kapan pula dia secara bebas dapat memilih untuk menggunakan B1 atau B2-nya. Pertanyaan mengenai kapan seorang penutur bilingual menggunakan satu bahasa tertentu, B1 atau B2-nya, atau satu ragam bahasa tertentu adalah menyangkut masalah fungsi bahasa atau fungsi ragam bahasa tertentu di dalam masyarakat tuturnya sehubungan dengan adanya ranah-ranah penggunaan bahasa atau ragam bahasa teresbut. Kalau di sini mesalahnya kita sempitkan hanya pada penggunaan B1 dan B2, maka kapan kembali ke pertanyaan kapan B1 harus digunakan dan kapan B2 harus dipakai. Pertanyaan ini menyangkut masalah pokok sosiolingistik, “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”.
Dari pembicaraan di atas dapat dilihat bahwa kapan harus digunakan B1 dan kapan harus digunakan B2 tergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosial pembicaraan. Jadi penggunaan B1 dan B2 ini tidaklah bebas. Oleh karena itu, pertanyaan berikutnya dari masalah ketiga, “kapan seorang penutur bilingual dapat secara bebas menggunakan B1 atau B2” adalah agak sukar dijawab. Karena jarang didapat adanya satu masyarakat tutur bilingual yang dapat secara bebas menggunakan salah satu bahasa yang terdapat dalam masyarakat tutur itu.

Masalah keempat yang dipertanyakan di atas adalah menyangkut masalah, sejauh mana B1 seorang penutur bilingual dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya. Pertanyaan ini menyangkut masalah kefasihan menggunakan kedua bahasa itu, dan kesempatan untuk menggunakannya. Dalam keadaan penguasaan terhadap B1 lebih baik daripada B2, dan juga kesempatan untuk menggunakannya lebih luas, maka ada kemungkinan B1 si penutur akan mempengaruhi B2-nya.
Mungkinkah B2 seorang penutur bilingual akan mempengaruhi B2-nya ? Kemungkinan itu aka nada kalau si penutur bilingual itu dalam jangka waktu yang cukup lama tidak menggunakan B1-nya, tetapi terus-menerus menggunakan B2-nya.

Masalah kelima yang dipertanyakan di atas adalah apakah bilingualisme itu terjadi pada perseorangan atau pada sekelompok penutur atau yang lazim disebut satu masyarakat tutur ? Pertanyaan ini menyangkut hakikat bahasa dalam kaitannya dengan penggunaannya di dalam masyarakat tutur bilingual. Oksaar ( 1972:478 ) berpendapat bahwa bilingualisme bukan hanya milik individu, tetapi juga milik kelompok. Mengapa ? Sebab bahasa itu penggunaannya tidak terbatas antara individu dan individu saja, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi antar kelompok.
Hanya masalahnya seperti yang dikatakan Wolf ( 1974:5 ), salah satu ciri bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa atau lebih seorang atau sekelompok orang dengan tidak adanya peranan tertentu dari kedua bahasa itu. Artinya, kedua bahasa itu dapat digunakan kepada siapa saja, kapan saja, dan dalam situasi bagaimana saja.pemilihan bahasa mana yang harus digunakan tergantung pada kemampuan si pembicara dan lawan bicaranya.

6.2  Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh Marcais, seorang linguis Prancis: tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan oleh seorang sarjana dari Stanford University,yaitu C.A.Ferguson tahun 1958 dalam suatu simponsium tentang “Urbanisasi dan bahasa-bahasa satandar” yang diselenggarakan oleh American Anthropological As sociation di Washington DC.
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdapingan dan masing-masing mempunyi peranan tertentu.
Bila disimak, definisi Ferguson itu member pengertian:
1.    Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, mana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama (lebih tepat ragam-ragam utama dari suatu bahasa,terdapat juga sebuah ragam lain.
2.    Dialek-dialek utama itu,di antaranya, bisa berupa sebuah dialek standar,atau sebuah standar regional.
3.    Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri :
-    Sudah sangat terkodifikasi
-    Gramatikalnya lebih kompleks
-    Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan harmonis
-    Dipelajari melalui pendidikan formal
-    Digunakan terutama bahasa tulis dan bahasa lisan formal
-    Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari
Fungsi merupakan criteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson dalam masyarakat ddiglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi (di singkat T atau ragam T),dan yang kedua disebut rendah (di singkat R atau ragam R)
Distribusi fungsional dialek T dan dialek R mempunyai arti bahwa terdapat situsi dimana hanya dialet T yang sesuai untuk digunakan,dan dalam situasi lain hanya dialek R yang bisa digunakan fungsi T hanya pada situasi resmi dan formal,sedangkan fungsi hanya pada situasi informal dan santai.
Penggunaan dialek T atau R yang tidak cocok dengan situasinya menyebabkan si penutur bisa disoroti, mungkin menimbulkan ejakan,cemoohan, atau tertawaan orang lain. Sastra dan puisi rakyat memang menggunakan dialek R,tetapi banyak anggota masyarakat beranggapan bahwa hanya sastra atau puisi dalam dialek T-lah yang sebenarnya karya sastra suatu bangsa.
Prestisi. Dalam masyarakat para penutur biasanya menganggap dialek T lebih bergensi,lebih superior,lebih terpandang,dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap interior; malah ada yang menolak keberadaannya.
Warisan kesusastraan. Pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapa kesusastraan dimana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bangsa tersebut. Kalau ada juga karya sastra kontemporer dengan mengunakan ragam T, maka dirasakan sebagai kelanjutan dari tradisi itu, yakni dalam karya sastra harus dalam dalam ragam T.
Pemerolehan. Ragam diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.
Standardisasi. Karena ragam T di pandang sebagai ragam yang bergengsi, maka standardisasi di lakukan terhadap ragam T melalui kodifikasi formal. Berbeda dengan ragam R, rgam R diurus dan diperhatikan karena jarang ada kajian yang menyinggung adanya ragam R atau kajian khusus mengenai ragam R tersebut. Kalau pun ada biasanya di lakukan oleh para peneliti dari masyarakat bahasa lain, dan di tulis dalam bahasa lain.
Stabilitas. Kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama di mana ada sebuah variasi bahasa yang di pertahankan eksitensinya dalam masyarakat itu. Pertentangan atau perbedaan antara ragam T dan ragam R dalam masyarakat diglosis selalu di tonjolkan karena karena ada perkembangan dalam bentuk-bentuk campuran yang memiliki ciri ragam T dan R.
Gramatiaka. Fergusen berpandangan bahwa ragam T dan ragam R dalam diglosis merupakan bentuk-bentuk dari bahasa yang sama.
Leksikon. Sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam Radalah sama, namun ada kosakata yang pada ragam T yang tidak ada pada ragam R atau sebaliknya.
Fonologi. Dalam bidang fonologi ada perbedaan antara ragam T dan raagam R. Forgusen mengatakan bahwa sistem bunyi ragam t dan ragam R sebenarnya merupakan sistim tunggal, namun fonologi T merupakan sistem dasar, sedangkan fonologi R yang beragam-ragam merupakan subsistem atau parasistem.
Di bagian akhir akhir artikelnya forgusen menyatakan bahwa suatu masyarakat diglosis bisa bertahan/stabil dalam waktu yang cukup lama meskipun terdapat “tekanan-tekanan” tekanan yang melunturkannya. Tekanan tersebut antara lain :
1.    Meningkatkan kemempuan keaksaraan dan meluasnya komunikasi verbal pada satu negara.
2.    Menggunaan peningkatan bahasa tulis.
3.    Perkembangan sosialisme dengan keinginan adanya sebuah bahasa nasional sebagai lambang kenasionalan suatu bangsa.

Kalau ferguson melihat diglosia hanya sebagai adanya pembedaan fungsi ragam T dan ragam R dalam sebuah bahasa , maka Fishman melihatdiglosia sebagai adanya  perbedaan fungsi, mulai dari perbedaan fungsi sampai adanya perbedaan fungsi dari dua bahasa yang berbeda. Jadi, di dalamnya termaksud perbedaan yang terdapat antara dialek, register, atau variasi bahasa secara fungsional (Fishman 1972).
Pakar sosiologi yang lain,yakni fasold (1987) mengembangkan konsep diglosia ini menjadi apa yang disebutkan broad diglosia (diglosia luas). Didalam konsep broad diglosia perbedaan itu tidak hanya antara dua bahasa atau dua ragam  atau dua dialeb secara biner,melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dua dialeb itu. Dengan demikian termasuk juga keadaan masyarakat yang didalamnya ada   diperbedakan tingkatan fungsi kebahasaan,sehingga muncullah apa yang disebut fasold diglosia ganda dalam bentuk yang disebut double overlapping diglosia,double-nested diglosia, dan near polyglosia.
Yang dimaksud dengan double overlapping diglosia adalah adanya situasi pembedaan derajat dan fungsi bahasa secara berganda sebagai contoh adalah situasi kebahasaan di Tanzania,seperti yang dilaporkan abdulaziz Mklifi dan dikutip oleh fasold  (1984). Di Tanzania ada digunakan bahasa inggris,bahasa swahili adalah bahasa dan yang menjadi bahasa R-nya adalah sejumlah bahasa daerah .
Realisasi  tutur dalam masyarakat Tanzania yang multilingual berdiglosia ganda ini adalah sebagai berikut. bahasa daerah dipelajari dirumah sebagai bahasa ibu. Bahasa swahili dipelajari disekolah dasar dan digunakan sebagai bahasa pengantar proses belajar mengajar. Maka,dari cara pemerolehan dan fungsi penggunaannya bahasa daerah adalah bahasa R,dan bahasa swahili berstatus sebagai bahasa T.kemudian ketika anak-anak Tanzania memasuki pendidikan yang lebih tinggi mereka harus belajar bahasa inggris sebagai mata pelajaran. Oleh karena bahasa inggris dipersyaratkan untuk keberhasilan,dan harus digunakan untuk situasi formal.maka bahasa inggris menjadi berstatus sebagai bahasa T terhadap bahasa swahili yang digunakan dalam situasi-situasi informal.
Double-nested diglosia adalah keadaan dalam masyarakat multilingual,dimana terdapat dua bahasa yang diperbedakan satu sebagai bahasa T,dan yang lain sebagai bahasa R. Tetapi baik bahasa T maupun bahasa R itu masing-masing mempunyai ragam atau dialeg yang masing-masing juga diberi status sebagai ragam T dan ragam R. Sebagai contoh kita ambil keadaan kebahasaan di khalapur,sebuah desa diutara Delhi, India, sebagai mana dideskripsikan oleh Gumperz (1964). Dalam masyarakat tutur kalakarur ada dua bahasa yaitu bahasa hindi dan bahasa khalakapur,yaitu salah satu fariasi bahasa hindi dengan jumlah persamaan dan perbedaan dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis,dan leksikon. Bahasa khalakapur dipelajari dirumah,dan digunakan oleh setiap orang di desa untuk hubungan lokal sehari-hari.sedangkan bahasa hindi dipelajari disekolah, atau melalui warga yang bermukiman dikota,maupun diluar kota, Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa khalakapur adalah masyarakat diglosis dengan bahasa hindi sebagai bahasa T, dan bahasa khalakapur sebagai bahasa R.

6.3 Kaitan Bilingualisme dan Diglosia
Bagaimana hubungan antara diglosia dan bilingualisme sebenarnya secara tidak langsung sudah dibicarakan di atas. Kalau diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa ( terutama fungsi T dan L ) dan bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat , maka Fishman ( 1977 ) menggambarkan hubungan diglosia dan bilingualisme itu seperti tampak dalam bagan berikut :
   
Diglosia
   
+   
-
Bilingualisme    +    1.    Bilingualisme dan diglosia
    2.    Bilingualisme tanpa diglosia
    -    3. Diglosia tanpa                              bilingualisme    4. Tidak diglosia tidak bilingualisme

Dari bagian itu tampak adanya empat jenis hubungan antara bilingualisme dan diglosia , yaitu (1) bilingualisme dan diglosia, (2) bilingualisme tanpa diglosia, (3) diglosia tanpa bilingualism dan (4) tidak bilingualisme tidak diglosia. Di dalam masyarakat yang dikarakterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan diglosia hampir setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R. Kedua ragam atau bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing yang tidak dapat dipertukarkan. Contoh : masyarakat tutur yang bilingual dan diglosis adalah di Paraguay. Di sana bahasa Guarani , salah satu bahasa asli  Amerika , berstatus sebagai bahasa R dan bahasa Spanyol yang merupakan bahasa Indo Eropa berstatus sebagai bahasa T. Keduanya digunakan menurut fungsinya masing-masing. Bahasa Guarani untuk komunikasi santai percakapan sehari-hari dan informal ; sedangkan bahasa Spanyol untuk komunikasi resmi atau formal.
Di dalam masyarakat yang bilingualis tetapi tidak diglosia terdapat sejumlah individu yang bilingual , namun mereka tidak membatasi penggunaan satu bahasa untuk satu situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain pula. Contoh masyarakat yang bilingual tetapi tidak disertai diglosia adalah masyarakat di Montreal, Kanada.
Suatu masyarakat yang pada mulanya bilingual dan diglosis, tetapi kemudian berubah menjadi masyarakat yang bilingual tetapi tidak diglosis dapat terjadi apabila sifat diglosisnya “bocor”. Dalam kasus ini sebuah variasi atau bahasa “merembes” ke dalam fungsi yang sudah dibentuk untuk variasi atau bahasa lain. Hasil perembesan ini mungkin akan menyebabkan terbentuknya sebuah variasi baru ( kalau T dan R mempunyai struktur yang sama); atau penggantian salah satunya oleh yang lain ( kalau T dan R sama strukturnya). Sebuah contoh bilingualism tanpa diglosia di R sebelum ada T adalah di Belgia yang berbahasa Jerman berlangsung dengan disertai meluasnya bilingualisme, di mana masing-masing bahasa dapat digunakan untuk berbagai tujuan.
Di dalam masyarakat yang berciri diglosia tetapi tanpa bilingualisme terdapat dua kelompok penawar. Kelompok pertama yang biasanya lebih kecil merupakan kelompok rulling group yang hanya berbicara dalam bahasa T sedangkan kelompok kedua yang biasanya lebih besar tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat hanya berbicara bahasa R. Situasi diglosia tanpa bilingualisme banyak kita jumpai di Eropa sebelum perang dunia pertama. Sesungguhnya masyarakat yang diglosis tanpa disertai bilingualisme tidak dapat disebut sebagai satu masyarakat tutur , sebab kedua kelompok tersebut tidak berinteraksi ; kecuali secara minim dengan menggunakan interpreter atau menggunakan bahasa pijin.
Pola keempat dalam pembicaraan hubungan diglosia dan bilingualisme adalah masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingualisme. Di dalam masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingualisme tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala macam tujuan. Keadaan ini hanya mungkin ada dalam masyarakat yang primitive atau terpencil, yang dewasa ini tentunya sangat sukar ditemukan. Masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual ini akan mencair ( self-liquidating) apabila telah bersentuhan dengan masyarakat lain ( Fishman 1972: 106).
Dari keempat pola masyarakat kebahasaan di atas yang paling stabil hanya dua, yaitu (1) diglosia dengan bilingualism dan (2) diglosia tanpa bilingualisme. Keduanya berkarakter diglosia, sehingga perbedaannya adalah terletak pada bilingualisme.

BILINGUALISME DAN DIGLOSIA



 6.1  Bilingualisme
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingulism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kewibahasaan. Dari istilahnya secara hanafiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua kode bahasa. Secara sosiolingustik, secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (mackey 1962:12, fishman 1975 :73). Untuk menggunakan dua bahasa tentunya seorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan) selain istilah bilingulisme dengan segala jabarannya ada juga istilah multi lingualisme (dalam bahasa Indonesia disebit juga keaneka bahasaan) yakni keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secaara bergantian.
Konsep umum bahwa bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulanya dengan orang lain secara bergantia telah menimbulkan sejumlah masalah yang bisa dibahas kalau orang membicarakan bilingualisme. Masalah-masalah itu adalah ( lihat juga Dittmar 1976:170) :
1)    Sejauh mana taraf kemampuan seseorang akan B2 ( B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik ) sehingga dapat disebut sebagai seorang yang bilingual ?
2)    Apa yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme ini ? Apakah bahasa dalam pengertian langue, atau sebuah kode sehingga termasuk sebuah dialek atau sosialek.
3)    Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian ? Kapan dia harus menggunakan B1-nya, dan dapat pula menggunakan B2-nya ? Kapan pula dia dapat secara bebas untuk dapat menggunakan B1-nya atau B2-nya ?
4)    Sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya.
5)    Apakah bilingualisme itu berlaku pada perseorangan ( seperti disebut dalam konsep umum ) atau juga berlaku pada satu kelompok masyarakat tutur ?
Untuk dapat menjawab pertanyaan pertama, sejauh mana penguasaan seorang terhadap B2 ( B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik karena merupakan bahasa ibu ) sehingga bisa disebut sebagai seorang bilingual. Bloomfield dalam bukunya yang terkenal Language ( 1933:56 ) mengatakan bahwa bilingualisme adalah “kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya”. Konsep Bloomfield mengenai bilingualisme ini banyak dipertanyakan dan dipersoalkan orang. Sebab, pertama bagaimana mengukur kemampuan yang sama dari seorang terhadap dua bahasa yang digunakannya; kedua, mungkinkah ada seorang penutur yang dapat menggunakannya B2-nya sama baiknya dengan B1-nya. Oleh karena itu, batasan Bloomfield mengenai bilingualisme ini banyak dimodifikasi orang. Robert Lado ( 1964:214 ), misalnya mengatakan bahwa bilingualisme adalah “kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimana pun tingkatnya”. Menurut Haugen ( 1961 ) “tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual”. Menurut Haugen selanjutnya, “seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa memahaminya saja”.
Dari pembicaraan di atas dapat disimpulkan sebagai jawaban terhadap pertanyaan pertama bahwa pengertian bilingualisme akhirnya satu rentangan berjenjang mulai menguasai B1 ( tentunya dengan baik karena bahasa ibu sendiri ) ditambah sedikit akan B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2-nya yang berjenjang meningkat sampai menguasai B2 itu sama baiknya dengan penguasaan B1. Kalau bilingualisme sudah sampai tahap ini maka berarti seorang penutur yang bilingual itu akan dapat menggunakan B2 dan B1 sama baiknya untuk fungsi dan situasi apa saja dan di mana saja. Namun, seperti sudah disebutkan di atas, penutur bilingualime yang seperti ini jarang ada.

Pertanyaan kedua, yaitu apakah yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme. Apakah bahasa itu sama dengan langue, atau begaimana ? Untuk menjawab pertanyaan kedua itu, terlebih dahulu kita telusuri pendapat para pakar.
Bloomfield ( 1933 ) juga mengatakan bahwa menguasai dua bahasa berarti menguasai dua buah sistem kode. Kalau yang dimaksud oleh Bloomfield bahwa bahasa itu adalah kode, maka berarti bahasa itu bukan langue, melainkan parole, yang berupa berbagai dialek dan ragam. Pakar lain, Mackey ( 1962:12 ), mengatakan dengan tegas bahwa biligualisme adalah praktek penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur. Untuk penggunaan dua bahasa diperlukan penggunaan kedua bahasa itu dengan tingkat yang sama. Jadi, jelas yang dimaksud dengan bahasa oleh Mackey adalah sama dengan langue. Tetapi pakr lain, Weinrich ( 1968:1 ) memberi pengertian bahasa dalam arti luas, yakni tanpa membedakan tingkat-tingkat yang ada di dalamnya.
Dari pembicaraan di atas dapat kita lihat bahwa yang dimaksud dengan bahasa di dalam bilingualisme itu sangat luas, dari bahasa dalam pengertain langue, seperti bahasa Sunda dan bahasa Madura sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa, seperti bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek Surabaya. Kalau yang dimaksud dengan bahasa adalah dialek, maka berarti hampir semua anggota masyarakat Indonesia adalah bilingual.
Pertanyaan ketiga, mempersalahkan kapan seorang penutur bilingual menggunakan kedua bahasa yang dikuasainya secara bergantian; kapan harus menggunakan B1-nya, kapan pula harus menggunakan B2-nya dan kapan pula dia secara bebas dapat memilih untuk menggunakan B1 atau B2-nya. Pertanyaan mengenai kapan seorang penutur bilingual menggunakan satu bahasa tertentu, B1 atau B2-nya, atau satu ragam bahasa tertentu adalah menyangkut masalah fungsi bahasa atau fungsi ragam bahasa tertentu di dalam masyarakat tuturnya sehubungan dengan adanya ranah-ranah penggunaan bahasa atau ragam bahasa teresbut. Kalau di sini mesalahnya kita sempitkan hanya pada penggunaan B1 dan B2, maka kapan kembali ke pertanyaan kapan B1 harus digunakan dan kapan B2 harus dipakai. Pertanyaan ini menyangkut masalah pokok sosiolingistik, “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”.
Dari pembicaraan di atas dapat dilihat bahwa kapan harus digunakan B1 dan kapan harus digunakan B2 tergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosial pembicaraan. Jadi penggunaan B1 dan B2 ini tidaklah bebas. Oleh karena itu, pertanyaan berikutnya dari masalah ketiga, “kapan seorang penutur bilingual dapat secara bebas menggunakan B1 atau B2” adalah agak sukar dijawab. Karena jarang didapat adanya satu masyarakat tutur bilingual yang dapat secara bebas menggunakan salah satu bahasa yang terdapat dalam masyarakat tutur itu.

Masalah keempat yang dipertanyakan di atas adalah menyangkut masalah, sejauh mana B1 seorang penutur bilingual dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya. Pertanyaan ini menyangkut masalah kefasihan menggunakan kedua bahasa itu, dan kesempatan untuk menggunakannya. Dalam keadaan penguasaan terhadap B1 lebih baik daripada B2, dan juga kesempatan untuk menggunakannya lebih luas, maka ada kemungkinan B1 si penutur akan mempengaruhi B2-nya.
Mungkinkah B2 seorang penutur bilingual akan mempengaruhi B2-nya ? Kemungkinan itu aka nada kalau si penutur bilingual itu dalam jangka waktu yang cukup lama tidak menggunakan B1-nya, tetapi terus-menerus menggunakan B2-nya.

Masalah kelima yang dipertanyakan di atas adalah apakah bilingualisme itu terjadi pada perseorangan atau pada sekelompok penutur atau yang lazim disebut satu masyarakat tutur ? Pertanyaan ini menyangkut hakikat bahasa dalam kaitannya dengan penggunaannya di dalam masyarakat tutur bilingual. Oksaar ( 1972:478 ) berpendapat bahwa bilingualisme bukan hanya milik individu, tetapi juga milik kelompok. Mengapa ? Sebab bahasa itu penggunaannya tidak terbatas antara individu dan individu saja, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi antar kelompok.
Hanya masalahnya seperti yang dikatakan Wolf ( 1974:5 ), salah satu ciri bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa atau lebih seorang atau sekelompok orang dengan tidak adanya peranan tertentu dari kedua bahasa itu. Artinya, kedua bahasa itu dapat digunakan kepada siapa saja, kapan saja, dan dalam situasi bagaimana saja.pemilihan bahasa mana yang harus digunakan tergantung pada kemampuan si pembicara dan lawan bicaranya.

6.2  Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh Marcais, seorang linguis Prancis: tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan oleh seorang sarjana dari Stanford University,yaitu C.A.Ferguson tahun 1958 dalam suatu simponsium tentang “Urbanisasi dan bahasa-bahasa satandar” yang diselenggarakan oleh American Anthropological As sociation di Washington DC.
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdapingan dan masing-masing mempunyi peranan tertentu.
Bila disimak, definisi Ferguson itu member pengertian:
1.    Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, mana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama (lebih tepat ragam-ragam utama dari suatu bahasa,terdapat juga sebuah ragam lain.
2.    Dialek-dialek utama itu,di antaranya, bisa berupa sebuah dialek standar,atau sebuah standar regional.
3.    Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri :
-    Sudah sangat terkodifikasi
-    Gramatikalnya lebih kompleks
-    Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan harmonis
-    Dipelajari melalui pendidikan formal
-    Digunakan terutama bahasa tulis dan bahasa lisan formal
-    Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari
Fungsi merupakan criteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson dalam masyarakat ddiglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi (di singkat T atau ragam T),dan yang kedua disebut rendah (di singkat R atau ragam R)
Distribusi fungsional dialek T dan dialek R mempunyai arti bahwa terdapat situsi dimana hanya dialet T yang sesuai untuk digunakan,dan dalam situasi lain hanya dialek R yang bisa digunakan fungsi T hanya pada situasi resmi dan formal,sedangkan fungsi hanya pada situasi informal dan santai.
Penggunaan dialek T atau R yang tidak cocok dengan situasinya menyebabkan si penutur bisa disoroti, mungkin menimbulkan ejakan,cemoohan, atau tertawaan orang lain. Sastra dan puisi rakyat memang menggunakan dialek R,tetapi banyak anggota masyarakat beranggapan bahwa hanya sastra atau puisi dalam dialek T-lah yang sebenarnya karya sastra suatu bangsa.
Prestisi. Dalam masyarakat para penutur biasanya menganggap dialek T lebih bergensi,lebih superior,lebih terpandang,dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap interior; malah ada yang menolak keberadaannya.
Warisan kesusastraan. Pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapa kesusastraan dimana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bangsa tersebut. Kalau ada juga karya sastra kontemporer dengan mengunakan ragam T, maka dirasakan sebagai kelanjutan dari tradisi itu, yakni dalam karya sastra harus dalam dalam ragam T.
Pemerolehan. Ragam diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.
Standardisasi. Karena ragam T di pandang sebagai ragam yang bergengsi, maka standardisasi di lakukan terhadap ragam T melalui kodifikasi formal. Berbeda dengan ragam R, rgam R diurus dan diperhatikan karena jarang ada kajian yang menyinggung adanya ragam R atau kajian khusus mengenai ragam R tersebut. Kalau pun ada biasanya di lakukan oleh para peneliti dari masyarakat bahasa lain, dan di tulis dalam bahasa lain.
Stabilitas. Kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama di mana ada sebuah variasi bahasa yang di pertahankan eksitensinya dalam masyarakat itu. Pertentangan atau perbedaan antara ragam T dan ragam R dalam masyarakat diglosis selalu di tonjolkan karena karena ada perkembangan dalam bentuk-bentuk campuran yang memiliki ciri ragam T dan R.
Gramatiaka. Fergusen berpandangan bahwa ragam T dan ragam R dalam diglosis merupakan bentuk-bentuk dari bahasa yang sama.
Leksikon. Sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam Radalah sama, namun ada kosakata yang pada ragam T yang tidak ada pada ragam R atau sebaliknya.
Fonologi. Dalam bidang fonologi ada perbedaan antara ragam T dan raagam R. Forgusen mengatakan bahwa sistem bunyi ragam t dan ragam R sebenarnya merupakan sistim tunggal, namun fonologi T merupakan sistem dasar, sedangkan fonologi R yang beragam-ragam merupakan subsistem atau parasistem.
Di bagian akhir akhir artikelnya forgusen menyatakan bahwa suatu masyarakat diglosis bisa bertahan/stabil dalam waktu yang cukup lama meskipun terdapat “tekanan-tekanan” tekanan yang melunturkannya. Tekanan tersebut antara lain :
1.    Meningkatkan kemempuan keaksaraan dan meluasnya komunikasi verbal pada satu negara.
2.    Menggunaan peningkatan bahasa tulis.
3.    Perkembangan sosialisme dengan keinginan adanya sebuah bahasa nasional sebagai lambang kenasionalan suatu bangsa.

Kalau ferguson melihat diglosia hanya sebagai adanya pembedaan fungsi ragam T dan ragam R dalam sebuah bahasa , maka Fishman melihatdiglosia sebagai adanya  perbedaan fungsi, mulai dari perbedaan fungsi sampai adanya perbedaan fungsi dari dua bahasa yang berbeda. Jadi, di dalamnya termaksud perbedaan yang terdapat antara dialek, register, atau variasi bahasa secara fungsional (Fishman 1972).
Pakar sosiologi yang lain,yakni fasold (1987) mengembangkan konsep diglosia ini menjadi apa yang disebutkan broad diglosia (diglosia luas). Didalam konsep broad diglosia perbedaan itu tidak hanya antara dua bahasa atau dua ragam  atau dua dialeb secara biner,melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dua dialeb itu. Dengan demikian termasuk juga keadaan masyarakat yang didalamnya ada   diperbedakan tingkatan fungsi kebahasaan,sehingga muncullah apa yang disebut fasold diglosia ganda dalam bentuk yang disebut double overlapping diglosia,double-nested diglosia, dan near polyglosia.
Yang dimaksud dengan double overlapping diglosia adalah adanya situasi pembedaan derajat dan fungsi bahasa secara berganda sebagai contoh adalah situasi kebahasaan di Tanzania,seperti yang dilaporkan abdulaziz Mklifi dan dikutip oleh fasold  (1984). Di Tanzania ada digunakan bahasa inggris,bahasa swahili adalah bahasa dan yang menjadi bahasa R-nya adalah sejumlah bahasa daerah .
Realisasi  tutur dalam masyarakat Tanzania yang multilingual berdiglosia ganda ini adalah sebagai berikut. bahasa daerah dipelajari dirumah sebagai bahasa ibu. Bahasa swahili dipelajari disekolah dasar dan digunakan sebagai bahasa pengantar proses belajar mengajar. Maka,dari cara pemerolehan dan fungsi penggunaannya bahasa daerah adalah bahasa R,dan bahasa swahili berstatus sebagai bahasa T.kemudian ketika anak-anak Tanzania memasuki pendidikan yang lebih tinggi mereka harus belajar bahasa inggris sebagai mata pelajaran. Oleh karena bahasa inggris dipersyaratkan untuk keberhasilan,dan harus digunakan untuk situasi formal.maka bahasa inggris menjadi berstatus sebagai bahasa T terhadap bahasa swahili yang digunakan dalam situasi-situasi informal.
Double-nested diglosia adalah keadaan dalam masyarakat multilingual,dimana terdapat dua bahasa yang diperbedakan satu sebagai bahasa T,dan yang lain sebagai bahasa R. Tetapi baik bahasa T maupun bahasa R itu masing-masing mempunyai ragam atau dialeg yang masing-masing juga diberi status sebagai ragam T dan ragam R. Sebagai contoh kita ambil keadaan kebahasaan di khalapur,sebuah desa diutara Delhi, India, sebagai mana dideskripsikan oleh Gumperz (1964). Dalam masyarakat tutur kalakarur ada dua bahasa yaitu bahasa hindi dan bahasa khalakapur,yaitu salah satu fariasi bahasa hindi dengan jumlah persamaan dan perbedaan dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis,dan leksikon. Bahasa khalakapur dipelajari dirumah,dan digunakan oleh setiap orang di desa untuk hubungan lokal sehari-hari.sedangkan bahasa hindi dipelajari disekolah, atau melalui warga yang bermukiman dikota,maupun diluar kota, Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa khalakapur adalah masyarakat diglosis dengan bahasa hindi sebagai bahasa T, dan bahasa khalakapur sebagai bahasa R.

6.3 Kaitan Bilingualisme dan Diglosia
Bagaimana hubungan antara diglosia dan bilingualisme sebenarnya secara tidak langsung sudah dibicarakan di atas. Kalau diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa ( terutama fungsi T dan L ) dan bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat , maka Fishman ( 1977 ) menggambarkan hubungan diglosia dan bilingualisme itu seperti tampak dalam bagan berikut :
   
Diglosia
   
+   
-
Bilingualisme    +    1.    Bilingualisme dan diglosia
    2.    Bilingualisme tanpa diglosia
    -    3. Diglosia tanpa                              bilingualisme    4. Tidak diglosia tidak bilingualisme

Dari bagian itu tampak adanya empat jenis hubungan antara bilingualisme dan diglosia , yaitu (1) bilingualisme dan diglosia, (2) bilingualisme tanpa diglosia, (3) diglosia tanpa bilingualism dan (4) tidak bilingualisme tidak diglosia. Di dalam masyarakat yang dikarakterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan diglosia hampir setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R. Kedua ragam atau bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing yang tidak dapat dipertukarkan. Contoh : masyarakat tutur yang bilingual dan diglosis adalah di Paraguay. Di sana bahasa Guarani , salah satu bahasa asli  Amerika , berstatus sebagai bahasa R dan bahasa Spanyol yang merupakan bahasa Indo Eropa berstatus sebagai bahasa T. Keduanya digunakan menurut fungsinya masing-masing. Bahasa Guarani untuk komunikasi santai percakapan sehari-hari dan informal ; sedangkan bahasa Spanyol untuk komunikasi resmi atau formal.
Di dalam masyarakat yang bilingualis tetapi tidak diglosia terdapat sejumlah individu yang bilingual , namun mereka tidak membatasi penggunaan satu bahasa untuk satu situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain pula. Contoh masyarakat yang bilingual tetapi tidak disertai diglosia adalah masyarakat di Montreal, Kanada.
Suatu masyarakat yang pada mulanya bilingual dan diglosis, tetapi kemudian berubah menjadi masyarakat yang bilingual tetapi tidak diglosis dapat terjadi apabila sifat diglosisnya “bocor”. Dalam kasus ini sebuah variasi atau bahasa “merembes” ke dalam fungsi yang sudah dibentuk untuk variasi atau bahasa lain. Hasil perembesan ini mungkin akan menyebabkan terbentuknya sebuah variasi baru ( kalau T dan R mempunyai struktur yang sama); atau penggantian salah satunya oleh yang lain ( kalau T dan R sama strukturnya). Sebuah contoh bilingualism tanpa diglosia di R sebelum ada T adalah di Belgia yang berbahasa Jerman berlangsung dengan disertai meluasnya bilingualisme, di mana masing-masing bahasa dapat digunakan untuk berbagai tujuan.
Di dalam masyarakat yang berciri diglosia tetapi tanpa bilingualisme terdapat dua kelompok penawar. Kelompok pertama yang biasanya lebih kecil merupakan kelompok rulling group yang hanya berbicara dalam bahasa T sedangkan kelompok kedua yang biasanya lebih besar tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat hanya berbicara bahasa R. Situasi diglosia tanpa bilingualisme banyak kita jumpai di Eropa sebelum perang dunia pertama. Sesungguhnya masyarakat yang diglosis tanpa disertai bilingualisme tidak dapat disebut sebagai satu masyarakat tutur , sebab kedua kelompok tersebut tidak berinteraksi ; kecuali secara minim dengan menggunakan interpreter atau menggunakan bahasa pijin.
Pola keempat dalam pembicaraan hubungan diglosia dan bilingualisme adalah masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingualisme. Di dalam masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingualisme tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala macam tujuan. Keadaan ini hanya mungkin ada dalam masyarakat yang primitive atau terpencil, yang dewasa ini tentunya sangat sukar ditemukan. Masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual ini akan mencair ( self-liquidating) apabila telah bersentuhan dengan masyarakat lain ( Fishman 1972: 106).
Dari keempat pola masyarakat kebahasaan di atas yang paling stabil hanya dua, yaitu (1) diglosia dengan bilingualism dan (2) diglosia tanpa bilingualisme. Keduanya berkarakter diglosia, sehingga perbedaannya adalah terletak pada bilingualisme.

BILINGUALISME DAN DIGLOSIA



 6.1  Bilingualisme
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingulism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kewibahasaan. Dari istilahnya secara hanafiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua kode bahasa. Secara sosiolingustik, secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (mackey 1962:12, fishman 1975 :73). Untuk menggunakan dua bahasa tentunya seorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan) selain istilah bilingulisme dengan segala jabarannya ada juga istilah multi lingualisme (dalam bahasa Indonesia disebit juga keaneka bahasaan) yakni keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secaara bergantian.
Konsep umum bahwa bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulanya dengan orang lain secara bergantia telah menimbulkan sejumlah masalah yang bisa dibahas kalau orang membicarakan bilingualisme. Masalah-masalah itu adalah ( lihat juga Dittmar 1976:170) :
1)    Sejauh mana taraf kemampuan seseorang akan B2 ( B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik ) sehingga dapat disebut sebagai seorang yang bilingual ?
2)    Apa yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme ini ? Apakah bahasa dalam pengertian langue, atau sebuah kode sehingga termasuk sebuah dialek atau sosialek.
3)    Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian ? Kapan dia harus menggunakan B1-nya, dan dapat pula menggunakan B2-nya ? Kapan pula dia dapat secara bebas untuk dapat menggunakan B1-nya atau B2-nya ?
4)    Sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya.
5)    Apakah bilingualisme itu berlaku pada perseorangan ( seperti disebut dalam konsep umum ) atau juga berlaku pada satu kelompok masyarakat tutur ?
Untuk dapat menjawab pertanyaan pertama, sejauh mana penguasaan seorang terhadap B2 ( B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik karena merupakan bahasa ibu ) sehingga bisa disebut sebagai seorang bilingual. Bloomfield dalam bukunya yang terkenal Language ( 1933:56 ) mengatakan bahwa bilingualisme adalah “kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya”. Konsep Bloomfield mengenai bilingualisme ini banyak dipertanyakan dan dipersoalkan orang. Sebab, pertama bagaimana mengukur kemampuan yang sama dari seorang terhadap dua bahasa yang digunakannya; kedua, mungkinkah ada seorang penutur yang dapat menggunakannya B2-nya sama baiknya dengan B1-nya. Oleh karena itu, batasan Bloomfield mengenai bilingualisme ini banyak dimodifikasi orang. Robert Lado ( 1964:214 ), misalnya mengatakan bahwa bilingualisme adalah “kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimana pun tingkatnya”. Menurut Haugen ( 1961 ) “tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual”. Menurut Haugen selanjutnya, “seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa memahaminya saja”.
Dari pembicaraan di atas dapat disimpulkan sebagai jawaban terhadap pertanyaan pertama bahwa pengertian bilingualisme akhirnya satu rentangan berjenjang mulai menguasai B1 ( tentunya dengan baik karena bahasa ibu sendiri ) ditambah sedikit akan B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2-nya yang berjenjang meningkat sampai menguasai B2 itu sama baiknya dengan penguasaan B1. Kalau bilingualisme sudah sampai tahap ini maka berarti seorang penutur yang bilingual itu akan dapat menggunakan B2 dan B1 sama baiknya untuk fungsi dan situasi apa saja dan di mana saja. Namun, seperti sudah disebutkan di atas, penutur bilingualime yang seperti ini jarang ada.

Pertanyaan kedua, yaitu apakah yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme. Apakah bahasa itu sama dengan langue, atau begaimana ? Untuk menjawab pertanyaan kedua itu, terlebih dahulu kita telusuri pendapat para pakar.
Bloomfield ( 1933 ) juga mengatakan bahwa menguasai dua bahasa berarti menguasai dua buah sistem kode. Kalau yang dimaksud oleh Bloomfield bahwa bahasa itu adalah kode, maka berarti bahasa itu bukan langue, melainkan parole, yang berupa berbagai dialek dan ragam. Pakar lain, Mackey ( 1962:12 ), mengatakan dengan tegas bahwa biligualisme adalah praktek penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur. Untuk penggunaan dua bahasa diperlukan penggunaan kedua bahasa itu dengan tingkat yang sama. Jadi, jelas yang dimaksud dengan bahasa oleh Mackey adalah sama dengan langue. Tetapi pakr lain, Weinrich ( 1968:1 ) memberi pengertian bahasa dalam arti luas, yakni tanpa membedakan tingkat-tingkat yang ada di dalamnya.
Dari pembicaraan di atas dapat kita lihat bahwa yang dimaksud dengan bahasa di dalam bilingualisme itu sangat luas, dari bahasa dalam pengertain langue, seperti bahasa Sunda dan bahasa Madura sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa, seperti bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek Surabaya. Kalau yang dimaksud dengan bahasa adalah dialek, maka berarti hampir semua anggota masyarakat Indonesia adalah bilingual.
Pertanyaan ketiga, mempersalahkan kapan seorang penutur bilingual menggunakan kedua bahasa yang dikuasainya secara bergantian; kapan harus menggunakan B1-nya, kapan pula harus menggunakan B2-nya dan kapan pula dia secara bebas dapat memilih untuk menggunakan B1 atau B2-nya. Pertanyaan mengenai kapan seorang penutur bilingual menggunakan satu bahasa tertentu, B1 atau B2-nya, atau satu ragam bahasa tertentu adalah menyangkut masalah fungsi bahasa atau fungsi ragam bahasa tertentu di dalam masyarakat tuturnya sehubungan dengan adanya ranah-ranah penggunaan bahasa atau ragam bahasa teresbut. Kalau di sini mesalahnya kita sempitkan hanya pada penggunaan B1 dan B2, maka kapan kembali ke pertanyaan kapan B1 harus digunakan dan kapan B2 harus dipakai. Pertanyaan ini menyangkut masalah pokok sosiolingistik, “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”.
Dari pembicaraan di atas dapat dilihat bahwa kapan harus digunakan B1 dan kapan harus digunakan B2 tergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosial pembicaraan. Jadi penggunaan B1 dan B2 ini tidaklah bebas. Oleh karena itu, pertanyaan berikutnya dari masalah ketiga, “kapan seorang penutur bilingual dapat secara bebas menggunakan B1 atau B2” adalah agak sukar dijawab. Karena jarang didapat adanya satu masyarakat tutur bilingual yang dapat secara bebas menggunakan salah satu bahasa yang terdapat dalam masyarakat tutur itu.

Masalah keempat yang dipertanyakan di atas adalah menyangkut masalah, sejauh mana B1 seorang penutur bilingual dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya. Pertanyaan ini menyangkut masalah kefasihan menggunakan kedua bahasa itu, dan kesempatan untuk menggunakannya. Dalam keadaan penguasaan terhadap B1 lebih baik daripada B2, dan juga kesempatan untuk menggunakannya lebih luas, maka ada kemungkinan B1 si penutur akan mempengaruhi B2-nya.
Mungkinkah B2 seorang penutur bilingual akan mempengaruhi B2-nya ? Kemungkinan itu aka nada kalau si penutur bilingual itu dalam jangka waktu yang cukup lama tidak menggunakan B1-nya, tetapi terus-menerus menggunakan B2-nya.

Masalah kelima yang dipertanyakan di atas adalah apakah bilingualisme itu terjadi pada perseorangan atau pada sekelompok penutur atau yang lazim disebut satu masyarakat tutur ? Pertanyaan ini menyangkut hakikat bahasa dalam kaitannya dengan penggunaannya di dalam masyarakat tutur bilingual. Oksaar ( 1972:478 ) berpendapat bahwa bilingualisme bukan hanya milik individu, tetapi juga milik kelompok. Mengapa ? Sebab bahasa itu penggunaannya tidak terbatas antara individu dan individu saja, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi antar kelompok.
Hanya masalahnya seperti yang dikatakan Wolf ( 1974:5 ), salah satu ciri bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa atau lebih seorang atau sekelompok orang dengan tidak adanya peranan tertentu dari kedua bahasa itu. Artinya, kedua bahasa itu dapat digunakan kepada siapa saja, kapan saja, dan dalam situasi bagaimana saja.pemilihan bahasa mana yang harus digunakan tergantung pada kemampuan si pembicara dan lawan bicaranya.

6.2  Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh Marcais, seorang linguis Prancis: tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan oleh seorang sarjana dari Stanford University,yaitu C.A.Ferguson tahun 1958 dalam suatu simponsium tentang “Urbanisasi dan bahasa-bahasa satandar” yang diselenggarakan oleh American Anthropological As sociation di Washington DC.
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdapingan dan masing-masing mempunyi peranan tertentu.
Bila disimak, definisi Ferguson itu member pengertian:
1.    Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, mana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama (lebih tepat ragam-ragam utama dari suatu bahasa,terdapat juga sebuah ragam lain.
2.    Dialek-dialek utama itu,di antaranya, bisa berupa sebuah dialek standar,atau sebuah standar regional.
3.    Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri :
-    Sudah sangat terkodifikasi
-    Gramatikalnya lebih kompleks
-    Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan harmonis
-    Dipelajari melalui pendidikan formal
-    Digunakan terutama bahasa tulis dan bahasa lisan formal
-    Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari
Fungsi merupakan criteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson dalam masyarakat ddiglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi (di singkat T atau ragam T),dan yang kedua disebut rendah (di singkat R atau ragam R)
Distribusi fungsional dialek T dan dialek R mempunyai arti bahwa terdapat situsi dimana hanya dialet T yang sesuai untuk digunakan,dan dalam situasi lain hanya dialek R yang bisa digunakan fungsi T hanya pada situasi resmi dan formal,sedangkan fungsi hanya pada situasi informal dan santai.
Penggunaan dialek T atau R yang tidak cocok dengan situasinya menyebabkan si penutur bisa disoroti, mungkin menimbulkan ejakan,cemoohan, atau tertawaan orang lain. Sastra dan puisi rakyat memang menggunakan dialek R,tetapi banyak anggota masyarakat beranggapan bahwa hanya sastra atau puisi dalam dialek T-lah yang sebenarnya karya sastra suatu bangsa.
Prestisi. Dalam masyarakat para penutur biasanya menganggap dialek T lebih bergensi,lebih superior,lebih terpandang,dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap interior; malah ada yang menolak keberadaannya.
Warisan kesusastraan. Pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapa kesusastraan dimana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bangsa tersebut. Kalau ada juga karya sastra kontemporer dengan mengunakan ragam T, maka dirasakan sebagai kelanjutan dari tradisi itu, yakni dalam karya sastra harus dalam dalam ragam T.
Pemerolehan. Ragam diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.
Standardisasi. Karena ragam T di pandang sebagai ragam yang bergengsi, maka standardisasi di lakukan terhadap ragam T melalui kodifikasi formal. Berbeda dengan ragam R, rgam R diurus dan diperhatikan karena jarang ada kajian yang menyinggung adanya ragam R atau kajian khusus mengenai ragam R tersebut. Kalau pun ada biasanya di lakukan oleh para peneliti dari masyarakat bahasa lain, dan di tulis dalam bahasa lain.
Stabilitas. Kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama di mana ada sebuah variasi bahasa yang di pertahankan eksitensinya dalam masyarakat itu. Pertentangan atau perbedaan antara ragam T dan ragam R dalam masyarakat diglosis selalu di tonjolkan karena karena ada perkembangan dalam bentuk-bentuk campuran yang memiliki ciri ragam T dan R.
Gramatiaka. Fergusen berpandangan bahwa ragam T dan ragam R dalam diglosis merupakan bentuk-bentuk dari bahasa yang sama.
Leksikon. Sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam Radalah sama, namun ada kosakata yang pada ragam T yang tidak ada pada ragam R atau sebaliknya.
Fonologi. Dalam bidang fonologi ada perbedaan antara ragam T dan raagam R. Forgusen mengatakan bahwa sistem bunyi ragam t dan ragam R sebenarnya merupakan sistim tunggal, namun fonologi T merupakan sistem dasar, sedangkan fonologi R yang beragam-ragam merupakan subsistem atau parasistem.
Di bagian akhir akhir artikelnya forgusen menyatakan bahwa suatu masyarakat diglosis bisa bertahan/stabil dalam waktu yang cukup lama meskipun terdapat “tekanan-tekanan” tekanan yang melunturkannya. Tekanan tersebut antara lain :
1.    Meningkatkan kemempuan keaksaraan dan meluasnya komunikasi verbal pada satu negara.
2.    Menggunaan peningkatan bahasa tulis.
3.    Perkembangan sosialisme dengan keinginan adanya sebuah bahasa nasional sebagai lambang kenasionalan suatu bangsa.

Kalau ferguson melihat diglosia hanya sebagai adanya pembedaan fungsi ragam T dan ragam R dalam sebuah bahasa , maka Fishman melihatdiglosia sebagai adanya  perbedaan fungsi, mulai dari perbedaan fungsi sampai adanya perbedaan fungsi dari dua bahasa yang berbeda. Jadi, di dalamnya termaksud perbedaan yang terdapat antara dialek, register, atau variasi bahasa secara fungsional (Fishman 1972).
Pakar sosiologi yang lain,yakni fasold (1987) mengembangkan konsep diglosia ini menjadi apa yang disebutkan broad diglosia (diglosia luas). Didalam konsep broad diglosia perbedaan itu tidak hanya antara dua bahasa atau dua ragam  atau dua dialeb secara biner,melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dua dialeb itu. Dengan demikian termasuk juga keadaan masyarakat yang didalamnya ada   diperbedakan tingkatan fungsi kebahasaan,sehingga muncullah apa yang disebut fasold diglosia ganda dalam bentuk yang disebut double overlapping diglosia,double-nested diglosia, dan near polyglosia.
Yang dimaksud dengan double overlapping diglosia adalah adanya situasi pembedaan derajat dan fungsi bahasa secara berganda sebagai contoh adalah situasi kebahasaan di Tanzania,seperti yang dilaporkan abdulaziz Mklifi dan dikutip oleh fasold  (1984). Di Tanzania ada digunakan bahasa inggris,bahasa swahili adalah bahasa dan yang menjadi bahasa R-nya adalah sejumlah bahasa daerah .
Realisasi  tutur dalam masyarakat Tanzania yang multilingual berdiglosia ganda ini adalah sebagai berikut. bahasa daerah dipelajari dirumah sebagai bahasa ibu. Bahasa swahili dipelajari disekolah dasar dan digunakan sebagai bahasa pengantar proses belajar mengajar. Maka,dari cara pemerolehan dan fungsi penggunaannya bahasa daerah adalah bahasa R,dan bahasa swahili berstatus sebagai bahasa T.kemudian ketika anak-anak Tanzania memasuki pendidikan yang lebih tinggi mereka harus belajar bahasa inggris sebagai mata pelajaran. Oleh karena bahasa inggris dipersyaratkan untuk keberhasilan,dan harus digunakan untuk situasi formal.maka bahasa inggris menjadi berstatus sebagai bahasa T terhadap bahasa swahili yang digunakan dalam situasi-situasi informal.
Double-nested diglosia adalah keadaan dalam masyarakat multilingual,dimana terdapat dua bahasa yang diperbedakan satu sebagai bahasa T,dan yang lain sebagai bahasa R. Tetapi baik bahasa T maupun bahasa R itu masing-masing mempunyai ragam atau dialeg yang masing-masing juga diberi status sebagai ragam T dan ragam R. Sebagai contoh kita ambil keadaan kebahasaan di khalapur,sebuah desa diutara Delhi, India, sebagai mana dideskripsikan oleh Gumperz (1964). Dalam masyarakat tutur kalakarur ada dua bahasa yaitu bahasa hindi dan bahasa khalakapur,yaitu salah satu fariasi bahasa hindi dengan jumlah persamaan dan perbedaan dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis,dan leksikon. Bahasa khalakapur dipelajari dirumah,dan digunakan oleh setiap orang di desa untuk hubungan lokal sehari-hari.sedangkan bahasa hindi dipelajari disekolah, atau melalui warga yang bermukiman dikota,maupun diluar kota, Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa khalakapur adalah masyarakat diglosis dengan bahasa hindi sebagai bahasa T, dan bahasa khalakapur sebagai bahasa R.

6.3 Kaitan Bilingualisme dan Diglosia
Bagaimana hubungan antara diglosia dan bilingualisme sebenarnya secara tidak langsung sudah dibicarakan di atas. Kalau diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa ( terutama fungsi T dan L ) dan bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat , maka Fishman ( 1977 ) menggambarkan hubungan diglosia dan bilingualisme itu seperti tampak dalam bagan berikut :
   
Diglosia
   
+   
-
Bilingualisme    +    1.    Bilingualisme dan diglosia
    2.    Bilingualisme tanpa diglosia
    -    3. Diglosia tanpa                              bilingualisme    4. Tidak diglosia tidak bilingualisme

Dari bagian itu tampak adanya empat jenis hubungan antara bilingualisme dan diglosia , yaitu (1) bilingualisme dan diglosia, (2) bilingualisme tanpa diglosia, (3) diglosia tanpa bilingualism dan (4) tidak bilingualisme tidak diglosia. Di dalam masyarakat yang dikarakterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan diglosia hampir setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R. Kedua ragam atau bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing yang tidak dapat dipertukarkan. Contoh : masyarakat tutur yang bilingual dan diglosis adalah di Paraguay. Di sana bahasa Guarani , salah satu bahasa asli  Amerika , berstatus sebagai bahasa R dan bahasa Spanyol yang merupakan bahasa Indo Eropa berstatus sebagai bahasa T. Keduanya digunakan menurut fungsinya masing-masing. Bahasa Guarani untuk komunikasi santai percakapan sehari-hari dan informal ; sedangkan bahasa Spanyol untuk komunikasi resmi atau formal.
Di dalam masyarakat yang bilingualis tetapi tidak diglosia terdapat sejumlah individu yang bilingual , namun mereka tidak membatasi penggunaan satu bahasa untuk satu situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain pula. Contoh masyarakat yang bilingual tetapi tidak disertai diglosia adalah masyarakat di Montreal, Kanada.
Suatu masyarakat yang pada mulanya bilingual dan diglosis, tetapi kemudian berubah menjadi masyarakat yang bilingual tetapi tidak diglosis dapat terjadi apabila sifat diglosisnya “bocor”. Dalam kasus ini sebuah variasi atau bahasa “merembes” ke dalam fungsi yang sudah dibentuk untuk variasi atau bahasa lain. Hasil perembesan ini mungkin akan menyebabkan terbentuknya sebuah variasi baru ( kalau T dan R mempunyai struktur yang sama); atau penggantian salah satunya oleh yang lain ( kalau T dan R sama strukturnya). Sebuah contoh bilingualism tanpa diglosia di R sebelum ada T adalah di Belgia yang berbahasa Jerman berlangsung dengan disertai meluasnya bilingualisme, di mana masing-masing bahasa dapat digunakan untuk berbagai tujuan.
Di dalam masyarakat yang berciri diglosia tetapi tanpa bilingualisme terdapat dua kelompok penawar. Kelompok pertama yang biasanya lebih kecil merupakan kelompok rulling group yang hanya berbicara dalam bahasa T sedangkan kelompok kedua yang biasanya lebih besar tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat hanya berbicara bahasa R. Situasi diglosia tanpa bilingualisme banyak kita jumpai di Eropa sebelum perang dunia pertama. Sesungguhnya masyarakat yang diglosis tanpa disertai bilingualisme tidak dapat disebut sebagai satu masyarakat tutur , sebab kedua kelompok tersebut tidak berinteraksi ; kecuali secara minim dengan menggunakan interpreter atau menggunakan bahasa pijin.
Pola keempat dalam pembicaraan hubungan diglosia dan bilingualisme adalah masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingualisme. Di dalam masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingualisme tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala macam tujuan. Keadaan ini hanya mungkin ada dalam masyarakat yang primitive atau terpencil, yang dewasa ini tentunya sangat sukar ditemukan. Masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual ini akan mencair ( self-liquidating) apabila telah bersentuhan dengan masyarakat lain ( Fishman 1972: 106).
Dari keempat pola masyarakat kebahasaan di atas yang paling stabil hanya dua, yaitu (1) diglosia dengan bilingualism dan (2) diglosia tanpa bilingualisme. Keduanya berkarakter diglosia, sehingga perbedaannya adalah terletak pada bilingualisme.

BILINGUALISME DAN DIGLOSIA



 6.1  Bilingualisme
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingulism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kewibahasaan. Dari istilahnya secara hanafiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua kode bahasa. Secara sosiolingustik, secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (mackey 1962:12, fishman 1975 :73). Untuk menggunakan dua bahasa tentunya seorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan) selain istilah bilingulisme dengan segala jabarannya ada juga istilah multi lingualisme (dalam bahasa Indonesia disebit juga keaneka bahasaan) yakni keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secaara bergantian.
Konsep umum bahwa bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulanya dengan orang lain secara bergantia telah menimbulkan sejumlah masalah yang bisa dibahas kalau orang membicarakan bilingualisme. Masalah-masalah itu adalah ( lihat juga Dittmar 1976:170) :
1)    Sejauh mana taraf kemampuan seseorang akan B2 ( B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik ) sehingga dapat disebut sebagai seorang yang bilingual ?
2)    Apa yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme ini ? Apakah bahasa dalam pengertian langue, atau sebuah kode sehingga termasuk sebuah dialek atau sosialek.
3)    Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian ? Kapan dia harus menggunakan B1-nya, dan dapat pula menggunakan B2-nya ? Kapan pula dia dapat secara bebas untuk dapat menggunakan B1-nya atau B2-nya ?
4)    Sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya.
5)    Apakah bilingualisme itu berlaku pada perseorangan ( seperti disebut dalam konsep umum ) atau juga berlaku pada satu kelompok masyarakat tutur ?
Untuk dapat menjawab pertanyaan pertama, sejauh mana penguasaan seorang terhadap B2 ( B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik karena merupakan bahasa ibu ) sehingga bisa disebut sebagai seorang bilingual. Bloomfield dalam bukunya yang terkenal Language ( 1933:56 ) mengatakan bahwa bilingualisme adalah “kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya”. Konsep Bloomfield mengenai bilingualisme ini banyak dipertanyakan dan dipersoalkan orang. Sebab, pertama bagaimana mengukur kemampuan yang sama dari seorang terhadap dua bahasa yang digunakannya; kedua, mungkinkah ada seorang penutur yang dapat menggunakannya B2-nya sama baiknya dengan B1-nya. Oleh karena itu, batasan Bloomfield mengenai bilingualisme ini banyak dimodifikasi orang. Robert Lado ( 1964:214 ), misalnya mengatakan bahwa bilingualisme adalah “kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimana pun tingkatnya”. Menurut Haugen ( 1961 ) “tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual”. Menurut Haugen selanjutnya, “seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa memahaminya saja”.
Dari pembicaraan di atas dapat disimpulkan sebagai jawaban terhadap pertanyaan pertama bahwa pengertian bilingualisme akhirnya satu rentangan berjenjang mulai menguasai B1 ( tentunya dengan baik karena bahasa ibu sendiri ) ditambah sedikit akan B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2-nya yang berjenjang meningkat sampai menguasai B2 itu sama baiknya dengan penguasaan B1. Kalau bilingualisme sudah sampai tahap ini maka berarti seorang penutur yang bilingual itu akan dapat menggunakan B2 dan B1 sama baiknya untuk fungsi dan situasi apa saja dan di mana saja. Namun, seperti sudah disebutkan di atas, penutur bilingualime yang seperti ini jarang ada.

Pertanyaan kedua, yaitu apakah yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme. Apakah bahasa itu sama dengan langue, atau begaimana ? Untuk menjawab pertanyaan kedua itu, terlebih dahulu kita telusuri pendapat para pakar.
Bloomfield ( 1933 ) juga mengatakan bahwa menguasai dua bahasa berarti menguasai dua buah sistem kode. Kalau yang dimaksud oleh Bloomfield bahwa bahasa itu adalah kode, maka berarti bahasa itu bukan langue, melainkan parole, yang berupa berbagai dialek dan ragam. Pakar lain, Mackey ( 1962:12 ), mengatakan dengan tegas bahwa biligualisme adalah praktek penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur. Untuk penggunaan dua bahasa diperlukan penggunaan kedua bahasa itu dengan tingkat yang sama. Jadi, jelas yang dimaksud dengan bahasa oleh Mackey adalah sama dengan langue. Tetapi pakr lain, Weinrich ( 1968:1 ) memberi pengertian bahasa dalam arti luas, yakni tanpa membedakan tingkat-tingkat yang ada di dalamnya.
Dari pembicaraan di atas dapat kita lihat bahwa yang dimaksud dengan bahasa di dalam bilingualisme itu sangat luas, dari bahasa dalam pengertain langue, seperti bahasa Sunda dan bahasa Madura sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa, seperti bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek Surabaya. Kalau yang dimaksud dengan bahasa adalah dialek, maka berarti hampir semua anggota masyarakat Indonesia adalah bilingual.
Pertanyaan ketiga, mempersalahkan kapan seorang penutur bilingual menggunakan kedua bahasa yang dikuasainya secara bergantian; kapan harus menggunakan B1-nya, kapan pula harus menggunakan B2-nya dan kapan pula dia secara bebas dapat memilih untuk menggunakan B1 atau B2-nya. Pertanyaan mengenai kapan seorang penutur bilingual menggunakan satu bahasa tertentu, B1 atau B2-nya, atau satu ragam bahasa tertentu adalah menyangkut masalah fungsi bahasa atau fungsi ragam bahasa tertentu di dalam masyarakat tuturnya sehubungan dengan adanya ranah-ranah penggunaan bahasa atau ragam bahasa teresbut. Kalau di sini mesalahnya kita sempitkan hanya pada penggunaan B1 dan B2, maka kapan kembali ke pertanyaan kapan B1 harus digunakan dan kapan B2 harus dipakai. Pertanyaan ini menyangkut masalah pokok sosiolingistik, “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”.
Dari pembicaraan di atas dapat dilihat bahwa kapan harus digunakan B1 dan kapan harus digunakan B2 tergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosial pembicaraan. Jadi penggunaan B1 dan B2 ini tidaklah bebas. Oleh karena itu, pertanyaan berikutnya dari masalah ketiga, “kapan seorang penutur bilingual dapat secara bebas menggunakan B1 atau B2” adalah agak sukar dijawab. Karena jarang didapat adanya satu masyarakat tutur bilingual yang dapat secara bebas menggunakan salah satu bahasa yang terdapat dalam masyarakat tutur itu.

Masalah keempat yang dipertanyakan di atas adalah menyangkut masalah, sejauh mana B1 seorang penutur bilingual dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya. Pertanyaan ini menyangkut masalah kefasihan menggunakan kedua bahasa itu, dan kesempatan untuk menggunakannya. Dalam keadaan penguasaan terhadap B1 lebih baik daripada B2, dan juga kesempatan untuk menggunakannya lebih luas, maka ada kemungkinan B1 si penutur akan mempengaruhi B2-nya.
Mungkinkah B2 seorang penutur bilingual akan mempengaruhi B2-nya ? Kemungkinan itu aka nada kalau si penutur bilingual itu dalam jangka waktu yang cukup lama tidak menggunakan B1-nya, tetapi terus-menerus menggunakan B2-nya.

Masalah kelima yang dipertanyakan di atas adalah apakah bilingualisme itu terjadi pada perseorangan atau pada sekelompok penutur atau yang lazim disebut satu masyarakat tutur ? Pertanyaan ini menyangkut hakikat bahasa dalam kaitannya dengan penggunaannya di dalam masyarakat tutur bilingual. Oksaar ( 1972:478 ) berpendapat bahwa bilingualisme bukan hanya milik individu, tetapi juga milik kelompok. Mengapa ? Sebab bahasa itu penggunaannya tidak terbatas antara individu dan individu saja, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi antar kelompok.
Hanya masalahnya seperti yang dikatakan Wolf ( 1974:5 ), salah satu ciri bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa atau lebih seorang atau sekelompok orang dengan tidak adanya peranan tertentu dari kedua bahasa itu. Artinya, kedua bahasa itu dapat digunakan kepada siapa saja, kapan saja, dan dalam situasi bagaimana saja.pemilihan bahasa mana yang harus digunakan tergantung pada kemampuan si pembicara dan lawan bicaranya.

6.2  Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh Marcais, seorang linguis Prancis: tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan oleh seorang sarjana dari Stanford University,yaitu C.A.Ferguson tahun 1958 dalam suatu simponsium tentang “Urbanisasi dan bahasa-bahasa satandar” yang diselenggarakan oleh American Anthropological As sociation di Washington DC.
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdapingan dan masing-masing mempunyi peranan tertentu.
Bila disimak, definisi Ferguson itu member pengertian:
1.    Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, mana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama (lebih tepat ragam-ragam utama dari suatu bahasa,terdapat juga sebuah ragam lain.
2.    Dialek-dialek utama itu,di antaranya, bisa berupa sebuah dialek standar,atau sebuah standar regional.
3.    Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri :
-    Sudah sangat terkodifikasi
-    Gramatikalnya lebih kompleks
-    Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan harmonis
-    Dipelajari melalui pendidikan formal
-    Digunakan terutama bahasa tulis dan bahasa lisan formal
-    Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari
Fungsi merupakan criteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson dalam masyarakat ddiglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi (di singkat T atau ragam T),dan yang kedua disebut rendah (di singkat R atau ragam R)
Distribusi fungsional dialek T dan dialek R mempunyai arti bahwa terdapat situsi dimana hanya dialet T yang sesuai untuk digunakan,dan dalam situasi lain hanya dialek R yang bisa digunakan fungsi T hanya pada situasi resmi dan formal,sedangkan fungsi hanya pada situasi informal dan santai.
Penggunaan dialek T atau R yang tidak cocok dengan situasinya menyebabkan si penutur bisa disoroti, mungkin menimbulkan ejakan,cemoohan, atau tertawaan orang lain. Sastra dan puisi rakyat memang menggunakan dialek R,tetapi banyak anggota masyarakat beranggapan bahwa hanya sastra atau puisi dalam dialek T-lah yang sebenarnya karya sastra suatu bangsa.
Prestisi. Dalam masyarakat para penutur biasanya menganggap dialek T lebih bergensi,lebih superior,lebih terpandang,dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap interior; malah ada yang menolak keberadaannya.
Warisan kesusastraan. Pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapa kesusastraan dimana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bangsa tersebut. Kalau ada juga karya sastra kontemporer dengan mengunakan ragam T, maka dirasakan sebagai kelanjutan dari tradisi itu, yakni dalam karya sastra harus dalam dalam ragam T.
Pemerolehan. Ragam diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.
Standardisasi. Karena ragam T di pandang sebagai ragam yang bergengsi, maka standardisasi di lakukan terhadap ragam T melalui kodifikasi formal. Berbeda dengan ragam R, rgam R diurus dan diperhatikan karena jarang ada kajian yang menyinggung adanya ragam R atau kajian khusus mengenai ragam R tersebut. Kalau pun ada biasanya di lakukan oleh para peneliti dari masyarakat bahasa lain, dan di tulis dalam bahasa lain.
Stabilitas. Kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama di mana ada sebuah variasi bahasa yang di pertahankan eksitensinya dalam masyarakat itu. Pertentangan atau perbedaan antara ragam T dan ragam R dalam masyarakat diglosis selalu di tonjolkan karena karena ada perkembangan dalam bentuk-bentuk campuran yang memiliki ciri ragam T dan R.
Gramatiaka. Fergusen berpandangan bahwa ragam T dan ragam R dalam diglosis merupakan bentuk-bentuk dari bahasa yang sama.
Leksikon. Sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam Radalah sama, namun ada kosakata yang pada ragam T yang tidak ada pada ragam R atau sebaliknya.
Fonologi. Dalam bidang fonologi ada perbedaan antara ragam T dan raagam R. Forgusen mengatakan bahwa sistem bunyi ragam t dan ragam R sebenarnya merupakan sistim tunggal, namun fonologi T merupakan sistem dasar, sedangkan fonologi R yang beragam-ragam merupakan subsistem atau parasistem.
Di bagian akhir akhir artikelnya forgusen menyatakan bahwa suatu masyarakat diglosis bisa bertahan/stabil dalam waktu yang cukup lama meskipun terdapat “tekanan-tekanan” tekanan yang melunturkannya. Tekanan tersebut antara lain :
1.    Meningkatkan kemempuan keaksaraan dan meluasnya komunikasi verbal pada satu negara.
2.    Menggunaan peningkatan bahasa tulis.
3.    Perkembangan sosialisme dengan keinginan adanya sebuah bahasa nasional sebagai lambang kenasionalan suatu bangsa.

Kalau ferguson melihat diglosia hanya sebagai adanya pembedaan fungsi ragam T dan ragam R dalam sebuah bahasa , maka Fishman melihatdiglosia sebagai adanya  perbedaan fungsi, mulai dari perbedaan fungsi sampai adanya perbedaan fungsi dari dua bahasa yang berbeda. Jadi, di dalamnya termaksud perbedaan yang terdapat antara dialek, register, atau variasi bahasa secara fungsional (Fishman 1972).
Pakar sosiologi yang lain,yakni fasold (1987) mengembangkan konsep diglosia ini menjadi apa yang disebutkan broad diglosia (diglosia luas). Didalam konsep broad diglosia perbedaan itu tidak hanya antara dua bahasa atau dua ragam  atau dua dialeb secara biner,melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dua dialeb itu. Dengan demikian termasuk juga keadaan masyarakat yang didalamnya ada   diperbedakan tingkatan fungsi kebahasaan,sehingga muncullah apa yang disebut fasold diglosia ganda dalam bentuk yang disebut double overlapping diglosia,double-nested diglosia, dan near polyglosia.
Yang dimaksud dengan double overlapping diglosia adalah adanya situasi pembedaan derajat dan fungsi bahasa secara berganda sebagai contoh adalah situasi kebahasaan di Tanzania,seperti yang dilaporkan abdulaziz Mklifi dan dikutip oleh fasold  (1984). Di Tanzania ada digunakan bahasa inggris,bahasa swahili adalah bahasa dan yang menjadi bahasa R-nya adalah sejumlah bahasa daerah .
Realisasi  tutur dalam masyarakat Tanzania yang multilingual berdiglosia ganda ini adalah sebagai berikut. bahasa daerah dipelajari dirumah sebagai bahasa ibu. Bahasa swahili dipelajari disekolah dasar dan digunakan sebagai bahasa pengantar proses belajar mengajar. Maka,dari cara pemerolehan dan fungsi penggunaannya bahasa daerah adalah bahasa R,dan bahasa swahili berstatus sebagai bahasa T.kemudian ketika anak-anak Tanzania memasuki pendidikan yang lebih tinggi mereka harus belajar bahasa inggris sebagai mata pelajaran. Oleh karena bahasa inggris dipersyaratkan untuk keberhasilan,dan harus digunakan untuk situasi formal.maka bahasa inggris menjadi berstatus sebagai bahasa T terhadap bahasa swahili yang digunakan dalam situasi-situasi informal.
Double-nested diglosia adalah keadaan dalam masyarakat multilingual,dimana terdapat dua bahasa yang diperbedakan satu sebagai bahasa T,dan yang lain sebagai bahasa R. Tetapi baik bahasa T maupun bahasa R itu masing-masing mempunyai ragam atau dialeg yang masing-masing juga diberi status sebagai ragam T dan ragam R. Sebagai contoh kita ambil keadaan kebahasaan di khalapur,sebuah desa diutara Delhi, India, sebagai mana dideskripsikan oleh Gumperz (1964). Dalam masyarakat tutur kalakarur ada dua bahasa yaitu bahasa hindi dan bahasa khalakapur,yaitu salah satu fariasi bahasa hindi dengan jumlah persamaan dan perbedaan dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis,dan leksikon. Bahasa khalakapur dipelajari dirumah,dan digunakan oleh setiap orang di desa untuk hubungan lokal sehari-hari.sedangkan bahasa hindi dipelajari disekolah, atau melalui warga yang bermukiman dikota,maupun diluar kota, Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa khalakapur adalah masyarakat diglosis dengan bahasa hindi sebagai bahasa T, dan bahasa khalakapur sebagai bahasa R.

6.3 Kaitan Bilingualisme dan Diglosia
Bagaimana hubungan antara diglosia dan bilingualisme sebenarnya secara tidak langsung sudah dibicarakan di atas. Kalau diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa ( terutama fungsi T dan L ) dan bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat , maka Fishman ( 1977 ) menggambarkan hubungan diglosia dan bilingualisme itu seperti tampak dalam bagan berikut :
   
Diglosia
   
+   
-
Bilingualisme    +    1.    Bilingualisme dan diglosia
    2.    Bilingualisme tanpa diglosia
    -    3. Diglosia tanpa                              bilingualisme    4. Tidak diglosia tidak bilingualisme

Dari bagian itu tampak adanya empat jenis hubungan antara bilingualisme dan diglosia , yaitu (1) bilingualisme dan diglosia, (2) bilingualisme tanpa diglosia, (3) diglosia tanpa bilingualism dan (4) tidak bilingualisme tidak diglosia. Di dalam masyarakat yang dikarakterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan diglosia hampir setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R. Kedua ragam atau bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing yang tidak dapat dipertukarkan. Contoh : masyarakat tutur yang bilingual dan diglosis adalah di Paraguay. Di sana bahasa Guarani , salah satu bahasa asli  Amerika , berstatus sebagai bahasa R dan bahasa Spanyol yang merupakan bahasa Indo Eropa berstatus sebagai bahasa T. Keduanya digunakan menurut fungsinya masing-masing. Bahasa Guarani untuk komunikasi santai percakapan sehari-hari dan informal ; sedangkan bahasa Spanyol untuk komunikasi resmi atau formal.
Di dalam masyarakat yang bilingualis tetapi tidak diglosia terdapat sejumlah individu yang bilingual , namun mereka tidak membatasi penggunaan satu bahasa untuk satu situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain pula. Contoh masyarakat yang bilingual tetapi tidak disertai diglosia adalah masyarakat di Montreal, Kanada.
Suatu masyarakat yang pada mulanya bilingual dan diglosis, tetapi kemudian berubah menjadi masyarakat yang bilingual tetapi tidak diglosis dapat terjadi apabila sifat diglosisnya “bocor”. Dalam kasus ini sebuah variasi atau bahasa “merembes” ke dalam fungsi yang sudah dibentuk untuk variasi atau bahasa lain. Hasil perembesan ini mungkin akan menyebabkan terbentuknya sebuah variasi baru ( kalau T dan R mempunyai struktur yang sama); atau penggantian salah satunya oleh yang lain ( kalau T dan R sama strukturnya). Sebuah contoh bilingualism tanpa diglosia di R sebelum ada T adalah di Belgia yang berbahasa Jerman berlangsung dengan disertai meluasnya bilingualisme, di mana masing-masing bahasa dapat digunakan untuk berbagai tujuan.
Di dalam masyarakat yang berciri diglosia tetapi tanpa bilingualisme terdapat dua kelompok penawar. Kelompok pertama yang biasanya lebih kecil merupakan kelompok rulling group yang hanya berbicara dalam bahasa T sedangkan kelompok kedua yang biasanya lebih besar tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat hanya berbicara bahasa R. Situasi diglosia tanpa bilingualisme banyak kita jumpai di Eropa sebelum perang dunia pertama. Sesungguhnya masyarakat yang diglosis tanpa disertai bilingualisme tidak dapat disebut sebagai satu masyarakat tutur , sebab kedua kelompok tersebut tidak berinteraksi ; kecuali secara minim dengan menggunakan interpreter atau menggunakan bahasa pijin.
Pola keempat dalam pembicaraan hubungan diglosia dan bilingualisme adalah masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingualisme. Di dalam masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingualisme tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala macam tujuan. Keadaan ini hanya mungkin ada dalam masyarakat yang primitive atau terpencil, yang dewasa ini tentunya sangat sukar ditemukan. Masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual ini akan mencair ( self-liquidating) apabila telah bersentuhan dengan masyarakat lain ( Fishman 1972: 106).
Dari keempat pola masyarakat kebahasaan di atas yang paling stabil hanya dua, yaitu (1) diglosia dengan bilingualism dan (2) diglosia tanpa bilingualisme. Keduanya berkarakter diglosia, sehingga perbedaannya adalah terletak pada bilingualisme.